Dalam dunia pendidikan,
seorang pelajar harus mengetahui cara yang tepat untuk dapat menimba ilmu
sesuai dengan apa yang sudah dilalui oleh para ulama. Seorang pakar, seperti
Prof. DR. Ali Jum’ah (mantan mufti mesir) pernah mengatakan bahwa rukun ilmu
itu terbagi menjadi 5 perkara, yakni : Sang pelajar, sang guru, kitab,
lingkungan, metode belajar.
pada paparan tersebut, ia ingin menegaskan dalam perjalanan proses kegiatan
belajar-mengajar harus memahami 5 pondasi penting tersebut, agar dapat mencapai
pada tujuan akhir seorang pelajar, yakni memahami secara utuh dan komprehensif
setiap bidang ilmu yang diajarkan.
Selama proses belajar di Al-Azhar -Mesir,
Kami diajarkan bagaimana cara belajar dengan metode yang sesuai diterapkan oleh
para ulama klasik. Di sisi lain, Al-Azhar sebagai kiblat ilmu dan juga
mempunyai guru-guru yang memiliki integritas dalam mengajar dan kompeten dalam
bidang yang digelutinya.
Seorang pakar ternama, seperti Sa'ad al-Din Masud ibn Umar ibn Abd Allah al-Taftazani w.790 H/1388 M pernah menjelaskan mengenai hal-hal tersebut, yaitu perihal;
1. Mukkadimah ilmu
a. Definisi (الحد)
b. Pokok pembahasan
(الموضوع)
c. Tujuan
pembahasan (الغاية)
Semisal Ilmu Hadits, didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari apa-apa yang disandangkan pada nabi saw. dari
perkataan, perbuatan, ketetapan, dan lain-lain. sedangkan, pokok pembahasanya
yaitu, segala yang terkait dengan nabi saw. lalu, dipelajari ilmu ini bertujuan
untuk mengetahui rantai sanad hadits dari rasulullah hingga penulis hadits,
seperti Imam Bukhari. Sebagaimana ibarah ulama dalam hal ini mengatakan :
إن مـــبادئ كل فن عشرة *** الحد والموضوع ثم الثمره
وفضلــــه ونســــبته والـــواضع *** والإسم الإستمداد حكم الشارع
مسائل والبعض بالبعض إكتفى *** ومن درى الجميع حاز الشرف
Artinya : “ Bahwa sesungguhnya
mukkadimah ilmu itu berisi 10 perkara, mulai dari definisi, pokok pembahasan,
keutamaan, nisbah ilmu, peletak ilmu, nama ilmu, pengambilan ilmu, hukum
mempelajari, permasalahan-permasalahan, barang siapa mengetahui hal-hal
tersebut, maka ia akan mendapatkan kemuliaan (paham secara global ilmu yang
akan dipelajari).”
Ulama menambahkan 7 perkara, sebab
melihat urgensitas dalam memahami suatu bidang ilmu secara garis besar sebelum
ingin dikaji dan ia pelajari. begitupun ulama memiliki kaidah yang berbunyi :
" لا بد لكل شارع في كثرة من أن يتصورها بوحدة ما "
Arti singkatnya, yakni
setiap pemula yang memulai belajar harus memiliki gambaran umum dari pada ilmu
yang akan ia pelajarinya. Lalu, ulama menjadikan 10 hal tersebut sebagai
pondasi utama untuk membantu seorang pelajar paham atas ilmu yang ia tekuni.
Ulama mencontohkan seperti halnya, Ilmu Fikih itu pembahasan khusus yang
terkait dengan hal-hal amal perbuatan seorang mukallaf (yang dikenakan beban
oleh syariat). Dibahas di dalamnya; tata cara shalat, berzakat, haji, jual-beli
terhadap sesama, masalah pernikahan, soal kriminalitas dan lain sebagainya.
Lalu, mereka membedakan dengan ilmu kedokteran –misalnya-, apa yang membedakan
antara Fikih dengan kedokteran, kemudian mereka menjawab yang menjadi
pembedanya adalah ada pada pokok pembahasaannya. Jikalau fikih membahas terkait
amalan seorang mukkalaf, sedangkan kedokteran mempelajari hal-hal yang terkait
badan manusia dari segi kesehatan dan penyakit yang diderita.
Sekilas penjelasan
mengenai mukkadimah ilmu. Yang memang realita sekarang kurang banyak digemari
untuk mengetahui hal-hal tersebut, yang mungkin disebebabkan beberapa faktor
diantaranya adalah keengganan sang pelajar membuka dan mengkaji ulang terhadap
kitab-kitab ulama klasik itu.
Dengan demikian, kami
sebagai duta Al-Azhar merasa terpanggil dan perlu untuk menyampaikan hal-hal
tersebut kepada para pembaca, agar selama masa belajar-mengajar dapat memahami
ilmu secara utuh, baik secara tekstual maupun kontekstual. Seperti tradisi
pengajian di sekitar kuliah Al-Azhar, sebelum masuk pada materi pembahasan,
seorang Syaikh –sebutan guru- pasti akan mengulas terlebih dahulu
mukkadimah ilmu tersebut secara detail, bahkan bisa menghabiskan sebanyak dua
atau tiga kali pertemuan. Dan lalu, kemudian hari selanjutnya baru mulai
membahas materi ilmu tersebut.
Di samping ulama membahas
apa yang dianggap sebuah keharusan bagi seorang pemula, yakni mukkadimah ilmu.
Pada tahap selanjutnya, mereka menjelaskan cara atau metodologi yang digunakan
oleh seorang penulis buku, yang ini disebut dengan mukkadimah kitab. Tahap
kali ini, ulama memaparkan keterkaitan antar buku ini dengan buku-buku
sebelumnya. Misalnya saja, pelajar tidak bisa membaca dan memahami kitab yang
berbahasa Arab secara benar sebelum ia mempelajari ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu
balaghah dan lain sebagainya. belum lagi kalau sudah masuk kepada ilmu ushul
Fiqih –misalnya-, kita tidak dapat memahami ilmu ushul fiqih sebelum kita
mempelajari ilmu mantiq, ilmu aqidah, ilmu balaghah. Artinya yang ingin kami
tekankan di sini adalah bahwa seorang pelajar –khususnya dalam bidang syariah-
harus melalui proses tahapan di mulai dari ilmu alat, seperti Ilmu nahwu, ilmu
sharf, ilmu mantiq, ilmu balaghah, ilmu wadi’ dan lain sebagainya. itu semua
harus sudah dipelajari agar dapat memiliki kemampuan untuk membaca dan memahami
untuk tahapan ilmu selanjutnya secara sempurna.
Contoh dalam ilmu nahwu,
kami diajarkan kitab Al-jurmiyyah, sebab kitab ini sangat cocok untuk para
pemula –seperti kami-, lalu setelah selesai Al-jurmiyyah, diajarkan kitab
As-sullam munawraq untuk ilmu mantiq, kemudian jika sudah dikaji, baru masuk
pada ilmu akidah menggunakan kitab Al-kharidah al-bahiyyah, setelah tuntas
mempelajari beberapa ilmu alat atau dasar pada bidang syariah, baru setelahnya
mempelajari Ilmu ushul fikih, kaidah fikih, kitab-kitab fikih, dan lain
sebagainya.
Mukkadimah ilmu juga
dapat disebut dengan falsafah ilmu. Sebab, karena seorang peniliti tidak hanya
sekedar membaca apa yang tertulis dibuku, melainkan ia juga memahami
asal-muasal pemikiran atau pendapat sedemikian rupa itu dengan mengkomparasikan
pendapat yang lain. Lalu, sampai menuai kritikan-kritikan ulama terhadap
ideologi atau pemikiran tersebut. dan hal ini, yang menyebabkan berkembangnya
khazanah keilmuan Islam sebagaimana sejarah mencatat awal mula muncul itu terjadi
pada masa dinasti Abbasiyyah.
Nah, sekarang posisi
pelajar adalah sebagai penerima pendapat ulama dengan mempelajari ilmu-ilmu
yang mereka bukukan dari hasil pemikiran dari zaman ke zaman. Semisal ilmu
dalam bidang ushul fikih, Jika seorang pemula ingin mengenal apa yang
dipelajari dalam ilmu ushul fikih, maka ia hendaknya belajar dengan menggunakan
kitab al-waraqat, karangan Imam Haramain. Buku ringkasan, mudah untuk
dipelajari dengan berisikan istilah-istilah dasar dalam bidang ushul fikih dan
dijadikan kitab mu’tamad oleh ulama untuk para pemula pelajar ilmu syariah.
DR. Syaikh Usamah Sayyid
al-Azhary pernah menyampaikan dihadapan para murid-muridnya saat membahas
tentang ‘Kharitatul ulum syar’iyyah’ atau terjemahan mudahnya Skema Ilmu
syariah, dengan membagikan beberapa tahapan yang mesti dilalui seorang pelajar,
khususnya Ilmu syariah, yang pertama yakni;
1. الفهم والإفهام
Pada tahapan ini, ilmu
yang akan membantu pelajar untuk melewati fase ini adalah diantaranya; Ilmu
nahwu, Ilmu sharf, Ilmu balaghah, Ilmu mantiq, dan ilmu dasar lainnya. Di sini,
diajarkan bagaimana cara memahami teks-teks ulama dari zaman ke zaman. Sering
kali, dapat dirasakan saat menelaah kitab-kitab yang klasik, kita menemukan
kesulitan dalam memahami ibarah sang penulis kitab. Biasanya ulama
klasik menggunakan kata-kata yang ringkas dengan makna yang luas, sangat
berbeda ketika kita membaca kitab kontemporer saat ini. Dan tentu, teks klasik
bisa dibaca dan dipahami oleh pelajar adalah dengan mempelajari ilmu-ilmu dasar
dalam syariah, seperti permisalan yang telah ditulis di awal bab. Juga
kemudian, para ulama sudah menggarisbawahi ketika pemula ingin belajar
ilmu-ilmu dasar tersebut haruslah dengan guru-guru yang sudah kompeten dalam
bidang nya, sehingga bisa menjembatani tangan para pelajar kepada tangan para
ulama.
Dalam kepenulisan, ulama
sering kali menggunakan istilah-istilah khusus
di kitab mereka. Seperti halnya; istilah ilmu mantik, pada bab pembagian
lafaz, kita tidak dapat memahami ilmu ushul fikih secara utuh sebelum
mempelajari ilmu mantik ini. Begitupun dalam ilmu akidah, pada bab penjelasan
tentang jauhar, kita tak dapat memhami ilmu tersebut secara komprehensif
sebelum mengkaji terlebih dahulu ilmu makulat (Ilmu pengantar akidah dan
filsafat).
Kemudian, DR. Usamah al-Azhary
menambahkan bahwa setiap bidang memiliki catatan historis awal mula yang
menemukan ilmu tersebut dan kemanfaatannya yang dirasakan oleh para pelajarnya.
Persis apa yang telah kami singgung di awal pembahasan, yakni perihal al-Mabadi
al-Asyrah. Maka, dari itu sangat penting bagi pemula sebelum masuk pada
pembahasannya untuk mengenal 10 perkara tersebut.
2. التوثيق
Setelah kita diajarkan
bagaimana cara memahami teks ulama secara cakap, pada fase kedua ini, kita
diajarkan bagaimana cara untuk menerima periwayatan hadits yang disampaikan
dari periode awal hingga ke sang penulis dengan ketentuan yang berlaku.
Pengenalan metode ini, kita terdidik untuk lebih selektif ketika ingin menerima
suatu kabar berita. Ulama punya pundi-pundi syarat dalam ketetapan periwayatan
hadits yang dikatakan sah menurut para pakar hadits. dalam hal ini, ilmu yang
membahas tentang hal-hal tersebut adalah Ilmu mustalah hadits.
Jika di atas, mempelajari
rantai periwayatan hadits, ada satu bidang ilmu yang mengkaji para perawinya,
siapa saja yang dinyatakan terpecaya dalam meriwayatkan, kuat pada hafalannya,
baik budi pekertinya, hal-hal seperti ini dipelajari dalam ilmu al-jarh wa ta’dil.
Pada tahap ini pun,
pemula diajarkan tidak hanya sekedar ketentuan-ketentuan yang berlaku ketika
ingin menerima sebuah hadits, melainkan dilatih juga bagaimana cara berfikir
para ulama dalam menentukan hadits yang dinyatakan sah menurutnya, ataupun tidak
sah. Dan benar-benar dapat melatih otak kita agar terbiasa dengan gaya
pemikiran ulama terdahulu.
Dan juga sebagian ulama
pun ada yang menuliskan nama-nama perawi hadits dari zaman ke zaman, yang
disertai sanad periwayatannya dari penulis hingga nabi saw. ulama menuliskan
hal-hal seperti ini dalam ilmu ar-rijal.
Dan masih banyak lagi,
ilmu yang bervariatif membahas etika-etika dalam penilaian keabsahan sebuah
kabar berita atau hadits. yang kemudian dinilai oleh DR. Usamah
al-azhary seorang pemula harus melalui proses belajar-mengajar pada tahap yang
kedua ini. Sebagai penguatan sekaligus pembiasaan mengikuti gaya berfikir para
ulama dan juga dapat mengkritisi pendapat ulama yang dianggap tidak sesuai
dengan pendapatnya.
3. الحجّية والتحليل
Lanjut, daripada tahad
ini masuk di dalamnya ilmu ushul fikih, ilmu kalam, ilmu qur’an, ilmu tafsir,
ilmu mantik, ilmu makulat, ilmu jadl wa munazharah. Macam-macam ilmu tersebut
mengajarkan seorang pelajar bagaimana cara mengkolaborasikan antara dalil-dalil
yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits dengan kaidah-kaidah yang diterapkan
dalam ilmu tersebut. semisal yakni; Ilmu ushul fikih, ada kaidah mengatakan ‘’
al-amru al-muthlaq al-mujarad bil qarinah yufidu lil wujub’’ yang kemudian
ini digunakan saat melihat ayat ataupun hadits yang terdapat sebuah perintah
dan terbebas dari sebuah qarinah, maka hal tersebut dihukumi wajib,
mesti dilakukan bagi seorang mukallaf.
Dan juga ada kaidah lain,
yang ketika terdapat dalam teks al-qur’an maupun hadits yang kontradiktif
makna, jika tidak bisa digabungkan antar keduanya, maka harus segera ditarjih
atau ditentukan mana yang dianggap lebih benar. Seperti, hadits tentang ziarah
kubur bagi seorang wanita.
Contoh lain dari kaidah
lain, adalah pembagian macam-macam dilalah yang memberikan petunjuk
untuk menghasilkan sebuah konklusi dalam menentukan kandungan makna teks agama
tersebut.
4. بناء الإنسانية
Pada fase akhir ini,
kalau boleh dikatakan bahwa fase dimana seorang penuntut ilmu merasakan
manisnya ilmu yang berasaskan oleh ilmu-ilmu dasar syariat. Ketika seorang
pemula hendak mempelajari ilmu fikih, yang saat itu ia sudah lebih dahulu
mempelajari ilmu ushul fikih, maka ia akan merasakan keterkaitan pembahasan
dari satu ilmu ke yang lainnya.
Tahap ini, berisikan
ilmu-ilmu terapan, seperti; ilmu fikih, ilmu akhlak, yang tentu ditujukan untuk
membentuk jiwa yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan hadits yang sesuai
dengan ilmu-ilmu dasar syariat sebagaimana yang sudah diterapkan oleh ulama
kita terdahulu, yang memiliki metodologi yang benar dalam belajar-mengajar.
Pada intinya, DR.
Usamah menyimpulkan bahwa jika seorang
pelajar hakiki yang bersungguh-sungguh dalam belajar dan mengikuti metodologi
yang benar dan lebih dahulu dilalui oleh ulama, maka ia akan sampai kepada
pemahaman yang utuh dan komprehensif, tidak berlandaskan hawa nafsu belaka,
menegakan pemahaman yang moderat dan tidak paham radikalisme apalagi paham
liberalisme.
Risalah singkat yang bisa
kami buat, semoga bermanfaat.