Kamis, 14 Mei 2020

Islamic Ethics


Kata ‘Ethic’ dalam bahasa Inggris didefinisikan sebagai etika, akhlak, atau budi pekerti. Tidak sedikit kata bahasa Indonesia merupakan hasil terjemahan dari kata-kata berbahasa Inggris. Seperti halnya yang satu ini, sering kali kita menggunakan istilah ‘etika’ ketika sedang menggambarkan moral seseorang. Prakteknya istilah Etika atau Akhlak merupakan dua kata yang mengandung kepada perkara yang baik atau tidak baik. Etika bisa dipadankan dengan etika terpuji atau etika yang buruk. Sementara dalam pembahasan ini, ‘Islamic’ dinisbahkan pada ‘Ethics’ mempunyai arti sangat luas. Cakupannya bisa berupa sejarah Islam, perkembangan penyebarannya di seantero dunia hingga konteks muslim kontemporer yang hidup di zaman globalisasi seperti saat ini.

Islam merupakan agama terakhir yang hidup bersampingan dengan agama Yahudi dan Nasrani. Islam dimulai penyeberannya di bangsa Arab. masyarakat Arab kala itu merupakan masyarakat yang tidak bisa membaca dan menulis. Bangsa Arab bukanlah seperti Bangsa Yunani yang diberikan keistimewaan sebagai pusat ilmu filsafat, bangsa Arab bukanlah bukanlah bagaikan bangsa China yang banyak memproduksi berbagai macam komoditas, bangsa Arab bukanlah seperti bangsa Romawi yang sejak dahulu dikenal dengan bangsa yang kaya akan perundang-undangan. bangsa Arab dikenal oleh halayak umum dengan bangsa yang memiliki keberagaman kabilah. Kabilah yang terpecah-pecah bahkan sering kali terjadi konflik besar disebabkan dengan perkara sepele. Akan tetapi keadaan ini berubah tatkala Nabi Muhammad saw., diutus untuk membereskan akhlak umatnya yang tidak hanya dibatasi atas umat Islam saja melainkan bagi seluruh alam sekalian.

Sejak 1400 tahun silam, Islam dimulai menyebarkan ajarannya. Dahulu hanya berpusat di negara Arab saja, akan tetapi sekarang telah tersebar di berbagai penjuru dunia. penganut Islam mendominasi di negara-negara bagian Asia, Afrika (bagian China barat dan utara). Sementara di bagian Negara Amerika, Eropa mulai mengenal Islam dan orang-orang berbondong memeluk Islam sekitar tahun akhir abad ke-16 M. Islam adalah termasuk agama yang panganutnya mendominasi keberadaannya sekitar 1,6 milliar pengikut di dunia.

“Foundational Sources of Islamic Belief”. Prinsip beragama ialah mempunyai buku pedoman agar hidup penuh makna dan berarti bagi yang lain. kitab tersebut direpresentasikan sebagai buku perundang-undangan yakni berupa aturan-aturan ilahi yang mencakup perintah dan larangan. Kitab Al-Qur’an lah yang dijadikan pedoman hidup bagi umat Islam. jika dikatakan kitab Injil merupakan kitab pedoman bagi masyarakat nasrani, tapi sayangnya sejarah mencatat banyak sekali kata-kata di kitab suci tersebut disalahtafsirkan bahkan dihapus oleh para pemukanya. Beda halnya dengan Al-Qur’an yang telah dinyatakan teks agama yang autentik keberadaannya setelah melewati fase pembuktian otentitas periwayatannya ketika pasca perang dunia kedua dan lebih kerennya proses pembuktian tersebut dilakukan di kota Berlin, jerman., yang mayoritas tidak beragama Islam. dan kitab pedoman kedua dalam Islam adalah hadits Nabi saw. karena kedudukan hadits Nabi ini sering kali dijadikan sebagai penerjemah atau penafsiran dari Al-Qur’an. Dan keduanya merupakan kitab pedoman hidup bagi umat muslim.

“Islam as a way of life”. Islam agama sempurna yang dijadikan sebagai jalan kehidupan untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Islam mengajarkan kasih sayang antar sesama dan sekemanusiaan, -tidak ujug-ujug ketika beda agama beda pula dalam bersikap-. Bahkan ketika Rasulullah melihat ada jenazah yang sedang dibawa dengan sikap hormatnya beliau berdiri memberi penghormatan kepadanya, lantas para sahabat protes, “ Wahai Rasulullah, jenazah tersebut adalah berasal dari golongan Yahudi.” Dijawab oleh Nabi, “bukankah dia juga manusia sama seperti manusia lainnya?”. Begitu indahnya akhlak Nabi saw. yang mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa bersikap baik kepada siapapun sekalipun berbeda agama dengan kita.

Islam mengajarkan rasa solidaritas terhadap sesama. Bukankah dalam Islam kita diwajibkan untuk membayar zakat dimana sesungguhnya di sebagian harta kita terdapat  hak orang lain. tapi sayangnya, masyarakat Indonesia kehilangan kesadaran akan pentingnya membayar zakat dan kewajiban baginya. Bahkan menurut Badan Zakat Nasional (BAZNAS) dalam penelitiannya mengatakan jika seandainya masyarakat muslim mambayar kewajiban tersebut, maka akan terkumpul uang sebesar ratusan triliunan, yang itu dengan optimisnya dapat mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Yang jelas prinsipnya Islam merupakan agama yang sangat memerhatikan solidaritas terhadap sesama, meskipun realitanya masih terdapat kekurangan sana-sini disebabkan bukan karena agamanya melainkan pengikutnya.

Sejak 14 abad silam, Rasullah telah menyampaikan prinsip-prinsip dalam beragama, baik itu yang berkaitan dengan ubudiyyah (penghambaan) atau muamalah (interaksi) terhadap sesama. Tata cara dalam beribadah diajarkan, mulai dari adab dalam bersuci, tata cara masuk ke kamar mandi hingga bersujud kepada-Nya. Tapi tidak hanya itu, Nabi saw. pun mengajarkan kepada kita bagaimana berinteraksi dengan orang lain, mulai dari cara berdagang, jual-beli, sewa menyewa, pegadaian dan seterusnya dan itu semuanya telah tuntas disampaikan oleh Nabi saw. dan ulama yang dilabeli sebagai pewaris para nabi melanjutkan penyebarannya bahkan sampai mengembangkan prinsip-prinsip tersebut di berbagai lini kehidupan. Seperti halnya, pengembangan prinsip dalam sektor Ekonomi, setelah dinyatakan terbukti sistem kapitalis yang jadikan sistem ekonomi dunia ini saat ini tidak berhasil menjawab tantangan perekonomian, maka datang ekonomi Islam yang berbasis sistem ketuhanan untuk menjawab tantangan global saat ini. Dan telah terbukti banyak menghasilkan perubahan dalam mekanisme perekonomian dunia, bahkan sistem ekonomi Islam (Syariah) dijadikan bidang studi di belahan Negara eropa yang notabene beragama non-Islam.

Yang jelas, Islam dikatakan sebagai rahmat bagi semuanya, ini benar adanya. Tinggal kita sebagai Agent of change (pemain) harus mengetahui ajaran-ajaran Islam secara komprehensif, lalu menyebarkannya dengan cara yang makruf  dan berlaku objektif dalam menilai apapun. Salam damai buat kita semuanya. Sekian, Wallahu a’lam.

Kairo, 14 Mei 2020 / 21 Ramadhan 1441 AH


Rabu, 13 Mei 2020

Maqashid Asy-Syariah

Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa Allah memerintahkan hamba-Nya untuk melakukan suatu perkara ibadah? Apa hikmah dibalik perintah tersebut? lalu, Apa tujuan yang sesungguhnya atas perintah atau larangan yang ditujukan kepada hamba-Nya? Ini semua akan dijawab pada pembahasan ‘Maqashid Asy-Syariah’ atau tujuan kehadiran syariat di pentas bumi ini.

Kata مقصد didefinisikan sebagai suatu hal yang berkaitan dengan niat atau keingingan yang hendak dilakukan, baik direpresentasikan dengan lisan atau perbuatan. Dalam Islam, menghadirkan niat dalam setiap perbuatan yang dilakukan merupakan suatu perkara yang sangat bernilai. Dengan niat kita dapat mendapatkan kebaikan padahal belum melakukannya, begitupun sebaliknya perkara buruk belumlah tercatat jika hanya sekedar niat dalam hati
.
Lalu, kata شريعة diartikan menurut istilah agama adalah kumpulan aturan-aturan yang Allah swt. tetapkan disampaikan kepada para utusan-Nya, rasul-rasul-Nya. Dari sini, kata شريعة memiliki makna yang sangat global, sebab dengan definisi ini tidak hanya ditujukkan untuk syariat Islam, melainkan juga masuk di dalamnya syariat Yahudi, syariat Nasrani, ajaran kitab Zabur, dsb. Kendati demikian, pada tulisan singkat ini akan membahas perkara-perkara yang berkaitan dengan syariat Islam, aturan perintah dan larangan yang disampaikan oleh Nabi saw. sementara menurut Imam Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat mengatakan, “Bahwa sesungguhnya seluruh agama samawi (Islam, Nasrani, Yahudi) sepakat tujuan kehadiran syariat merupakan atau upaya untuk menjaga lima komponen penting bagi kehidupan, yakni agama, jiwa, nasl (keturunan), harta dan akal”.

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa ‘Maqashid Asy-Syariah’ merupakan tujuan kehadiran syariat di tengah umat Islam yang dengannya mereka mengetahui hakikat sebuah perintah atau larangan, begitupun hikmah yang terkandung di dalamnya. Seperti misalnya, ketika Allah memerintahkan hamba-Nya agar segera membayarkan zakat dari sebagian harta untuk orang yang membutuhkan. Dalam konteks ini, dengan jelas Allah menyebutkan tujuan dari perintah tersebut, yakni dengan melakukanya, maka harta akan dapat disucikan dan jiwa serta hati kita diajarkan agar selalu berbagi kepada orang yang berhak atas sebagian harta kita. karena tidak ada yang menjamin harta yang kita peroleh kesemuanya terbebas dari suatu perbuatan yang kotor, maka demikian dalam Islam kita dianjurkan agar mengeluarkan zakat.

Maqashid Asy-Syariah dibagi menjadi tiga pembagian, yaitu; Tujuan Umum, Tujuan Khusus, Tujuan Parsial. Lima komponen yang harus dijaga eksistensinya merupakan bagian dari tujuan yang bersifat umum, sebagaimana disebutkan di atas bahwa tidak hanya Islam menjaga hal tersebut melainkan seluruh agama samawi menerapkan hal yang sama.

Lalu, ketika aturan-aturan yang bersifat khusus pada satu aspek tertentu, seperti aspek muamalah (ekonomi), aspek keluarga (harta warisan) atau hukum kriminalitas. Kesemuannya ada pada pembahasan tujuan yang sifatnya khusus. Sebab, ia akan sangat berkaitan dengan bab-bab tertentu saja. Jika tujuan khusus membahas perkara suatu bab besar yang terdapat berbagai permasalahan yang bersifat kompleksitas, maka pada pembagian tujuan yang terakhir merupakan tujuan yang bersifat parsial, hanya berkaitan dengan suatu permasalahan tertentu, seperti halnya pada saat melakukan akad pernikahan secara mekanisme yang wajib dilakukan bagi calon suami adalah memberikan mahar kepada calon istri. Lantas, apa yang sesungguhnya tujuan dari hal tersebut? bisa kita katakan, itu merupakan dari upaya agar dapat menciptakan rumah tangga yang tentram, damai, mawaddah dan penuh kasih sayang. Di samping itu bahwa pemberian mahar merupkan sebuah kewajiban yang diperintahkan agama.

Sebuah keharusan seorang ulama mengetahui ‘maqashid syariah’ karenanya ia diibaratkan ruhnya amal perbuatan. Artinya, tanpa mengetahui maqashid maka ia berfikih tanpa ruh. Sebagaimana disampaikan Imam Asy-Syatibi. Sudah maklum, dalam memahami teks syariat membutuhkan dua hal, pertama harus memiliki kompetensi yang baik terhadap literatur ilmu bahasa Arab, seperti nahwu, sharf, balaghah, dsb. Dan kedua, harus memahami tujuan kehadiran syariat ini. Ditambah dengan perkataan Imam Ibn Asyur, “sesungguhnya yang menanggalkan pemahaman maqashid ini akan membuat fikih menjadi kaku, dan sering kali menyimpang dengan tujuan sebenarnya.”

Sebenarnya umat Islam tidak hanya diwajibkan mengetahui hakikat tujuan hadirnya agama yang sempurna ini. Akan tetapi, kita juga diharuskan untuk mengetahui pengetahuan dasar terkait bukti keimanan kita kepada Allah swt. meskipun yang dituntut tidak sampai mendatangkan dalil-dalil yang rinci, melainkan hanya sekedar dalil yang bersifat global.

Prakteknya, beberapa kasus kejadian pada saat Nabi saw. memerintahkan umatnya untuk melakukan suatu hal, lalu ia menyertakan apa tujuan perintah tersebut. seperti;

1.       Saat Rasulullah memerintahkan jika diantara kalian terbagun dari tidurnya hendaknya mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam bejana air. Kenapa demikian? Lalu Rasulullah meneruskan karena kita tidak tahu di saat tidur tangan kita berada dimana saja. Khawatir tangan kita sempat bertempat yang kotor, sehingga saat dicelupkan tangan kita di bejana air tersebut akan membuatkan kotor atau barangkali menjadi najis.

2.       Ketika Rasulullah menyuruh umatnya agar tidak memanjangkan bacaan shalat tatkala sedang mengimami jamaah. Karena ia tahu, bahwa pada saat dilakukan shalat jamaah yang hadir tidak hanya para sahabat yang kuat jasmaninya, sehat rohaninya, akan tetapi hadir juga bersama mereka orang sakit, orang yang tua renta, orang yang sedang memilik hajat, dsb. Maka, sungguh amat luar biasa Nabi saw. mengetahui keadaan para sahabtnya dan sangat memerhatikan kondisi sekitarnya, maka ia memerintahkan hal tersebut agar tidak memberatkan kepada mereka yang dalam keadaan lemah. Berbeda halnya kalau shalat sendirian bahkan beliau mengatakan dengan tegas jika shalat sendirian maka panjangkanlah bacaan shalat sesuka hatimu.

3.       Di beberapa waktu, tatkala Rasulullah mengatakan bahwa ketika ada dua muslim dalam berusaha untuk membunuhnya satu sama lain dengan ditangannya terdapat pedang, dengan tegas ia mengatakan si pembunuh dan yang terbunuh mereka berada di api neraka. Kaget sahabat mendengar kabar demikian dan bertanya-tanya, kok bisa yaa rasulullah? Ia benar akan kabar tersebut dan beliau menjawabnya karena yang terbunuh memiliki niat yang sama, yaitu berupaya untuk membunuh lawannya tersebut. dengan upaya niat tersebut ia dimasukkan ke api neraka.

Perkara wajib yang dilakukan oleh seorang mukmin juga banyak mengandung tujuannya akan tercapai keinginan yang diinginkan oleh syariat. Sebutlah, shalat lima waktu merupakan rutinitas yang sering kita lakukan setiap harinya. Mungkin sering kita bertanya-tanya apa sesungguhnya yang diinginkan dari amalan tersebut? ternyata Al-Qur’an telah menjawab dengan rinci bahwa dengan amalan tersebut kita terhindar dari perbuatan-perbuatan yang keji dan juga dengan menghayati hakikat shalat kita dengan tenang dapat berdzikir (mengingat) sang maha pencipta dengan segala kerendahan kita sebagai makhluk-Nya. Demikian Al-Qur’an menyebutkan hikmah atas perintah tersebut.
Dan masih banyak keragaman yang Allah selipkan hikmah atas setiap perintahnya dan larangnya. Cukup sekian. Wallahu A’lam..     

Jumat, 24 April 2020

Bulan Ramadhan melatih diri untuk memetik buah kesabaran

Masyarakat Islam mengenal bulan ramadhan adalah sebagai bulan puasa, menahan diri tidak makan dan tidak minum ketika terbit fajar hingga terbenam matahari. Kewajiban yang mesti dilakukan bagi seorang muslim selama satu bulan penuh. Puasa atau dikenal dalam literatur Islam dengan Siyam/Saum diartikan secara bahasa ‘menahan’, sedangkan secara terminologi adalah menahan dari apa yang dapat membatalkan puasa seperti makan, minum, berhubungan badan ketika terbit fajar sampai terbenam matahari. Puasa ramadhan memiliki karakter khusus yang membedakan dengan puasa lainnya, yakni niat pada malam hari sebelum terbit fajar. Karena pada dasarnya merupakan suatu syarat keabsahan melakukan niat/tekad dalam hati untuk menunaikan ibadah puasa di esok hari. Berbeda halnya dengan puasa sunnah pada umumnya dibolehkan untuk mengakhirkan niat bahkan setelah terbit fajar hingga sebelum masuknya waktu shalat zhuhur.

Nabi Muhammad saw. diutus sesungguhnya adalah untuk menyempurnakan akhlak seluruh umat manusia. Iya, seluruhnya. Karena beliau diutus untuk seluruh alam, tidak hanya kepada umat tertentu saja. Bulan ramadhan merupakan momentum, kesempatan, waktu meditasi untuk meningkatkan kualitas akhlak kita. tentu yang dimaksud akhlak di sini adalah akhlak terpuji. Di antaranya adalah kesabaran. Jauh sekitar 14 abad lalu, Nabi telah mengibaratkan bulan ramadhan adalah bulan kesabaran. Bayangkan! suatu pekerjaan, perbuatan yang biasanya sering kita lakukakan dan hukum agamanya adalah boleh, akan tetapi tatkala di bulan ramadhan hal tersebut tidak diperkenankan untuk dilakukan. Bukankah, pekerjaan makan-minum, berhubungan badan antar suami-istri merupakan sesuatu yang diperbolehkan? Berbeda hukumnya jika dilakukan di bulan ini ketika waktu berpuasa -terbit fajar hingga terbenam matahari- akan mendapatkan hukuman kafarat, baik pilihannya membebaskan budak, puasa dua bulan berturut-turut atau memberikan makan fakir miskin.

Dalam konteks ini ‘menahan’ tidak hanya dimaknai sekedar tidak minum, tidak makan saja melainkan lebih dari itu. Menahan juga bisa diartikan sebagai menahan diri untuk tidak membicarakan perkara buruk orang lain, menahan diri untuk tidak marah, menahan diri untuk bersabar, menahan diri untuk tidak hasad atau dengki kepada orang lain, menahan diri dari kecerobohan, menahan diri untuk berlaku zalim, yang intinya adalah merubah diri untuk tidak melakukan kebiasaan buruk hingga terbentuk menjadi perangai yang baik sebagaimana tujuan rasulullah saw. diutus di muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak umatnya. Ditambah lagi, jika semuanya dilakukan akan mendapatkan ganjaran pahala yang bernilai besar yakni diampuni dosanya baik yang dulu hingga masa datang, tapi dengan catatan melakukan perintah puasa ini dengan keimanan, keikhlasan, kemantapan hati, kesadaran diri akan perbuatan buruk yang telah ia lakukan. Insya allah, dengan izin-Nya semua kesalahan, kekhilafan yang pernah dilakukannya akan diampuni, bahkan diganti dengan kebaikan.

Bukankah di zaman Rasullah pernah ada seorang sahabat bertanya kepada Nabi saw. tentang apakah dengan mencukupkan melakukan ibadah yang wajib, menunaikan rukun Islam -termasuk ibadah saum-  ini sudah dijamin masuk ke surga-Nya?! Dijawab oleh Nabi saw. “Na’am” atau “Iya, ia akan masuk ke surga-Nya.” Cukuplah dengan hadis ini menjadi bukti besarnya kasih sayang Nabi saw kepada umatnya sampai di akhir hayatnya beliau menahan perihnya saat menghadapi sakaratul maut dengan tujuan agar bisa digantikan dengan memberikan syafaat (pertolongan) untuk umatnya di hari akhirat nanti. Sesungguhnya dibalik perintah agama tersebut mengandung berbagi hikmah yang kita akan ketahui jika menyadarinya, meresapinya dalam hati dan fikiran kita. termasuk dari ibadah saum ini adalah untuk membentuk sifat terpuji agar tertanam dalam hati sanubari seorang muslim hingga digolongkan oleh Allah swt. menjadi hamba-hamba yang bertakwa.

-semoga kita bisa menjadi golongan mereka-. Aamiin yaa rabbal a’lamin. Wassalam.

Kairo, 24 April 2020

Selasa, 14 April 2020

Sejarah dan Pengantar Ilmu Ushul Fikih


 
foto; Naskah Kuno Kitab Waraqat


Sejarah Lahirnya

Sudah diketahui bahwa ilmu ushul fikih yang kita pelajari hari ini merupakan suatu ilmu yang belum diketahui di masa awal Islam ditegakkan. Di periode sahabat dan begitu juga di awal masa tabi’in belum merasakan akan kebutuhan terhadap kaidah-kaidah ushul fikih, sebab diantaranya adalah karena mereka mempunyai kemampuan (malakah) bahasa Arab yang memumpuni, yang mana atas dasar ini mereka dapat menemukan hukum syar’I dengan landasan pemahaman bahasa Arab yang baik. Seperti halnya sahabat telah memahami bahwa yang namanya Fa’il dalam ilmu nahwu itu dihukumi marfu’ dan mereka juga mengetahui bahwa ketika ada lafaz ما di sumber hukum Islam yakni Al-Qur’an dan Al-Hadis itu mengandung arti umum serta ditujukan bagi yang tak berakal secara hakikatnya.
para sahabat dan pembesar tabi’in tidak hanya mempunyai pemahaman kaidah kebahasaan secara komprehensif, melainkan juga memiliki pengetahuan tentang kaidah lainnya, seperti halnya kesepakatan antar ulama atau Ijmak merupakan sebuah sumber hukum dalam Islam, dan juga Qiyas dijadikan sebagai hujjah bagi mereka. Adapun sunnah yang dijadikan sumber hukum kedua mereka tidak perlu membahas seputar kaidah-kaidah, ketentuan penerimaan hadits, serta pembagiannya. Kenapa tidak perlu? yah, karena pada hakikatnya para sahabat dan Rasulullah, sang penyampai wahyu tidaklah ada sekat diantara keduanya, dengan mudahnya para sahabat dapat mendapatkan hadits dari Rasulullah dan mereka amalkan di kehidupan sehari-hari.

Berbeda keadaanya setelah zaman sahabat dan para generasi awal tabi’in, yang kemudian tersebar luasnya ajaran nilai-nilai agama, bangsa Arab melakukan ekspansi ke berbagai penjuru Negara kala itu. Yang menyebabkan atas peristiwa tersebut melahirkan banyak para pendatang atau orang-orang yang bukan dari bangsa Arab masuk ke kawasan muslimin, sampai tercampur aduk bahasa asing dengan bahasa Arab. Apalagi zaman rasulullah dengan zaman pasca tabi’in terbilang jauh, maka dibutuhkan saat itu periwayatan hadis antar sesama. Dengan mendorong para ulama membuat kaidah-kaidah yang membahas tentang ketentuan dan syarat-syarat hadis sahih sehingga dapat membedakannya dengan hadis daif. Yang dibahas oleh ulama pada ilmu  mustalah hadis. Dan juga dikatakan ulama pembahasan seperti ini dapat ditemukan di ilmu ushul fikih.

Siapa yang pertama kali menulis kaidah-kaidah ilmu ushul fikih? Diantara perbedaan pendapat ulama, kita dapat melihat bahwa pendapat yang paling sahih adalah yang berkata Imam Syafi’I merupakan sosok ulama yang pertama kali mengkodifikasikan ilmu tersebut. –semoga Allah meridai nya- ia menuliskannya dalam kitab yang terkenal, yakni Ar-risalah. Kemudian, para generasi setelahnya banyak menulis dan melebarluaskan pembahasan pada ilmu yang agung ini. Sampai, ditemukan perbedaan metodologi dalam membangun kaidah-kaidah yang para ulama tuliskan di kitab-kitab mereka. Seperti, thariqah mutakallimin, thariqah fuqaha, thariqah muta’akhirin. Yang semua mazhab tersebut dapat kita baca pemikirannya pada era ini.

Metodologi Ulama

1. Thariqah Mutakallim

Mazhab ini diterapkan oleh mayoritas ulama, seperti ulama malikiyah, syafi’iyah, hanabilah dan ulama lainnya selain mazhab hanafiyah. Teori yang mereka terapkan adalah dengan cara membuat identifikasi masalah ushuliyyah dan kemudian dibuat kaidah-kaidah baku yang diterapkan pada permasalahan furuiyat. Tanpa melihat kepada pendapat ulama dalam mazhabnya. Ini yang membedakan dengan mazhab fukaha. (lihat penjelasan tambahan di thariqah selanjutnya)

2. Thariqah Fukaha

Berbeda dengan mazhab mutakallim, disebabkan para imam dalam mazhab hanafi tidak meninggalkan kaidah-kaidah yang kemudian dapat diterapkan oleh para murid-muridnya. Maka, para generasi setelahnya mereka yang meniliti dan mengidentifikasi pemikiran imam mazhab yang mereka jadikan sebuah kaidah baku yang diterapkan dalam bermadzhab. Kata lain; jika di mazhab mutakalim mencari kaidah ushuliyyah terlebih dahulu, lalu diaplikasikan di mazhab mereka. Berbeda di mazhab fukaha mereka melihat dahulu pemikiran di mazhab mereka, baru kemudian di buat kaidah baku yang dapat diterapkan pada zaman setelahnya.

3. Thariqah Muta’akhirin

Mazhab ini bisa terbilang baru, yang merupakan penggabungan dari dua mazhab tersebut. tergabung diberbagai sisi, yang kemudian ini memiliki dampak akan kekayaan khazanah literatur fikih dalam Islam. akan tetapi, berkata Maulana syaikh Husam (guru penulis) bagi seorang mubtadi baiknya ketika ingin belajar imu ushul fikih tidak memulainya dari mazhab ini. Alasan yang beliau sampaikan adalah dengan metodologi ini dapat membuat kerancuan seorang pelajar, yang realitanya dia belum memiliki pemahaman dasar ilmu ushul fikih yang kuat.
Kitab-kitab penting yang dijadikan sebagai referensi mazhab mutakalim;

- al-Umad, karangan al-Qadhi Abdul Jabbar Al-hamdani, w 410 H
- al-Mu’tamad, karangan Abu hasan Al-Bashri, w 436 H
- al-Burhan, karangan Imam Haramain, w 478 H
- al-Mustasfha, karangan Imam Al-Ghazali, w 505 H
Kitab-kitab penting yang dijadikan sebagai rujukan mazhab fukaha;
- ushul Al-Jasos, karangan Imam jasos, w 370 H
- takwimul Adilah, karangan Ad-dabusi, w 430 H
- ushul Al-Bazdawi, karangan Al Bazdawi, w 473 H
- ushul As-sharkhasi, karangan As-sharkhasi, w 490 H
kitab rujukan mazhab muta’akhirin
- Jamul Jawami’, karangan Tajuddin As-subki, beliau pembesar ulama di mazhab syafi’iyah, w

Definisi dan Pembahasan

dalam literatur ilmu pengetahuan, cara membedakan satu ilmu dengan yang lainnya itu bisa terlihat dari definis ilmu tersebut dan pokok pembahasannya. Dalam hal ini, ulama membahas terkait definisi ilmu ushul fikih adalah sebagai berikut;
Imam Baidowi, w 685 H,

"أصول الفقه معرفة دلائل الفقه إجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد"
Artinya : “mengetahui kaidah-kaidah ushuliyah yang bersifat ijmaliyah, cara mengambil istinbat hukum dan juga mengetahui syarat-syarat yang berhak melakukan istinbat tersebut.”

Pokok pembahasan ushul fikih mengenai tentang kumpulan dalil-daili yang bersifat umum yang tersusun diantaranya dari lafaz yang mengandung amru (perintah) atau nahyu (larangan), juga menyinggung permasalahan lafaz-lafaz yang kontradiktif secara zohir, lalu akan dipecahkan masalah tersebut dengan mendatangkan metodologi ulama dalam menyelesaikannya, seperti ketika ada kandungan makna nash Al-Qur’an atau hadis itu saling berlawanan, jika bisa digabungkan maka digabungkan. apabila tidak bisa, maka cara menyelesaikannya adalah dengan mentarjih satu dari yang lain.

Adapun pada tujuan seseorang mempelajari Ilmu ushul fikih merupakan sebuah cara seorang mujtahid dapat menemukan hukum-hukum syariat melalui pemahaman dalil-dalil yang bersifat ijamli.
Contohnya seperti; dalil kewajiban sholat yang disebutkan " أقيموا الصلاة "
Perintah pada ayat tersebut Hanya ingin menegaskan bahwa “dirikanlah shalat wahai manusia sekalian” dan tidak pada perintah tersebut mengatakan “shalat bagi kalian semua adalah sebuah kewajiban wahai manusia..” maka, pada tahap, dimana konklusi kewajiban tersebut didapatkan adalah dari kaidah ulama ushul fikih yang mereka tetapkan pada pembahasan mereka, yang berbunyi ;

                            " كل أمر مطلق بغير قرينة يفيد للوجوب "
Artinya : “Setiap kalimat perintah yang tidak mengandung qarinah (makna yang memalingkan kewajiban) maka, bermakna sebuah kewajiban.”

Kemudian bisa dianalogikan setiap ayat yang berisi sebuah perintah dalam Al-Qur’an dan Al-hadis dimaknai sebagai sebuah kewajiban bagi umat muslimin. Kebalikan dari ketika ada lafaz larangan itu artikan sebuah pengharaman bagi umat Islam untuk dilakukan. Dan masih ada kaidah-kaidah lain yang dijadikan pembahasan di ilmu ushul fikih, bisa dibuka di kitab-kitab khusus yang membahas hal tersebut, seperti kitab waraqat, karangan Imam Haramain beserta hasyiyah nafahat nya.

Pada sistematika pembahasan ushul fikih di kitab-kitab babon itu kita akan menemukan topik pembahasan memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. seperti di kitab waraqat, para syurrah mengatakan tentang kitab ini yakni, mukhtasar terbaik yang mesti dijadikan pedoman bagi para mubtadi. Sebagai berikut penulis mencoba membuat sistematika pembahasannya;

Pertama ; Imam Al juwayni (Al-haramain), di awal bab membahas definisi dari kalimat ushul fikih, baik secara bahasa maupun istilah menurut ulama ushul fikih. Lalu, pengarang membahas seputar pembagian hukum syariat taklifi dan wadhi, diantara tujuannya adalah untuk mengetahui macam-macam hukum syariat dan di akhir akan bisa menentukan hukum suatu perbuatan manusia setelah melewati fase istibant hukum dengan dalili-dalil ushuliyyah yang bersifat ijmaliyah.

Kedua ; di sini, ia membahas tentang mukkadimah lugawiyah yang berisi tentang pengertian lafaz hakikat dan lafaz majazi beserta contohnya dari setiap perbedaan dalam penggunaanya.

Ketiga ; pada tahap ini, sang penulis masuk ke tujuan pembahasan pada ilmu ini. Ia membahas penjelasan tentang awamir dan nawahi. Dibahas di dalamnya tentang definisi, macam-macam lafaz perintah dan larangan. Diantara tujuannya adalah untuk bisa mengetahui lafaz-lafaz yang berisi perintah, yang kemudian nantinya bisa menghukumi sesuatu itu bersifat kewajiban atau keharaman.

Ke-empat ; setelahnya, penulis masuk pada Am’ wa khos yakni, lafaz-lafaz yang bermakna umum dan khusus di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Karena di antara faktor perbedaan ulama dalam masalah fikih adalah  disebabkan dengan lafaz-lafaz yang disebutkan dalam Al-Qur’an itu bersifat umum dan memiliki makna lebih dari satu. Bahkan, perbedaan tersebut telah ada sejak pada zaman sahabat.

Ke-lima ; pembahasan lafaz-lafaz yang bersifat mujmal dan mubayyan, singkatnya lafaz-lazfaz mujmal ini sesungguhnya masih membutuhkan lafaz yang menjelaskan tujuan hakiki nya itu apa. Karena pada dasarnya lafaz masih memliki cela bagi pembaca dalam memahami teks tersebut. seperti perintah shalat dalam Al-Qur’an itu tidak menyebutkan bagaimana cara shalat, berapa rakaat dan kapan shalat itu dilaksanakan. Hal-hal ini dijelaskan secara detail dalam Al-hadis nabi saw.

Ke-enam ; lanjutnya, membahas tentang Al-af’al, yakni perbuatan nabi saw. di sana kita akan membahas pembagian perbuatan nabi saw. menjadi dua macam, yakni perbuatan yang mengandung sebuah perintah (syariat), kedua perbuatan seperti amal manusia lainnya (tidak mengandung perintah atau syariat) seperti, makan dan minum nabi saw.

Ke-tujuh ; bab naskh, yakni terjadi penghapusan hukum dan bacaan dalam Al-Quran. Pembahasan penting sekali diketahui oleh seorang mujtahid agar tidak mengistinbat ayat yang sebenarnya telah dihapus hukumnya pada pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan kepada nya.

Ke-delapan ; bab Ta’arud Al-adilah, di sini tempat pengamalan istinbat hukum. Karena ada beberapa teks Al-Qur’an maupun Al-hadis secara zohir itu saling bertentangan (kontradiktif makna). Hal ini, membutuhkan pemahaman bagaimana cara menyelasaikan permasalahan tersebut. apakah digabungkan keduanya? Atau ditarjih satu dari yang lain? atau sama-sama diamalkan di satu sisi dan di sisi lain? pada bab ini, akan dibahas permasalahan tersebut.

Ke-sembilan ; bab Al-ijmak, dalam fikih Islam ada 4 sumber yang disepakati oleh mayoritas ulama, di antaranya adalah ijmak (kesepakatan ulama fukaha) bukan orang awam. Dibahas pada bab ini, yakni berupa definisi ijmak, syarat-syarat terjadinya ijmak dan argumentasi ulama yang menetapkan ijmak merupakan sumber fikih Islam dan generasi setelahnya harus mengikutinya, tidak boleh mengingkarinya. Barang siapa mengingkari maka, sudah keluar dari barisan muslimin atau dihukumi kafir.

Ke-sepuluh ; bab Al-Akhbar, di masa Imam syafi’I terjadi perselisihan antar ulama terkait periwayatan hadis, macam-macam hadis nabis saw. dan  syarat-syarat hadis yang diamalkan dan apa landasan yang menjadikan hadis sebagai hujjah di Islam.

Ke-sebelas ; bab Al-Qiyas, ini pun sama, sumber fikih Islam yang disepakati ulama atas pengamalannya dalam literatur fikih. Jika kita melihat sejarah pada zaman rasulullah saw. ternyata telah pernah diamalkan oleh nabi saw dalam beberapa kasus yang mendesaknya harus menjawab pertanyaan dari sahabat. Pada bab ini, akan dijelaskan pengertian qiyas, macam-macam qiyas serta argumentasi ulama yang menjadikan qiyas sebagai hujjah dalam literatur fikih Islam.

Ke-dua belas ; bab Al-mufti dan Al-mustafti, pada tahap ini kita akan mempelajari siapa itu seorang mutahid. Dibahas mulai dari definisinya, syarat-syaratnya, yang berhak melakukan istinbat hukum. Begitu pun, syarat mustafti. Luar biasanya ulama?!, khususnya sang penulis sangat detail membahas ilmu ini, dibuktikan dengan ia tidak hanya membahas pengertian mujtahid dan ketentuan-ketentuannya, tapi ia juga membahas pengertian muqallid (sebenarnya bukan pembahasannya). Kenapa dibahas? Karena memiliki kedekatan, supaya tidak salah dalam membedakannya, maka harus dibahas juga pengertian muqallid. Dan juga agar bagi seorang muqallid tidak melakukan istinbat hukum dari Al-Qur’an dan Al-hadis, sebab memang pada dasarnya mereka belum memiliki kapasitas keilmuan yang cukup dan otoritas dalam melakukan hal-hal tersebut layaknya para mutjahid.

Ringkasan pembahasan dalam ilmu ushul fikih yang penting diketahui bagi seorang pelajar khususnya marhalah mubtadi. Semoga bermanfaat bagi yang membacanya. Wallahu’ a’la wa a’lam..

Sabtu, 23 November 2019, Kairo-Mesir


Senin, 12 Agustus 2019

Skema Ilmu Syariat


Dalam dunia pendidikan, seorang pelajar harus mengetahui cara yang tepat untuk dapat menimba ilmu sesuai dengan apa yang sudah dilalui oleh para ulama. Seorang pakar, seperti Prof. DR. Ali Jum’ah (mantan mufti mesir) pernah mengatakan bahwa rukun ilmu itu terbagi menjadi 5 perkara, yakni : Sang pelajar, sang guru, kitab, lingkungan, metode belajar[1]. pada paparan tersebut, ia ingin menegaskan dalam perjalanan proses kegiatan belajar-mengajar harus memahami 5 pondasi penting tersebut, agar dapat mencapai pada tujuan akhir seorang pelajar, yakni memahami secara utuh dan komprehensif setiap bidang ilmu yang diajarkan.

Selama proses belajar di Al-Azhar -Mesir, Kami diajarkan bagaimana cara belajar dengan metode yang sesuai diterapkan oleh para ulama klasik. Di sisi lain, Al-Azhar sebagai kiblat ilmu dan juga mempunyai guru-guru yang memiliki integritas dalam mengajar dan kompeten dalam bidang yang digelutinya.
Seorang pakar ternama, seperti Sa'ad al-Din Masud ibn Umar ibn Abd Allah al-Taftazani w.790 H/1388 M pernah menjelaskan mengenai hal-hal tersebut, yaitu perihal;
          1.     Mukkadimah ilmu
a.     Definisi (الحد)
b.     Pokok pembahasan (الموضوع)
c.      Tujuan pembahasan (الغاية)

Semisal Ilmu Hadits, didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari apa-apa yang disandangkan pada nabi saw. dari perkataan, perbuatan, ketetapan, dan lain-lain. sedangkan, pokok pembahasanya yaitu, segala yang terkait dengan nabi saw. lalu, dipelajari ilmu ini bertujuan untuk mengetahui rantai sanad hadits dari rasulullah hingga penulis hadits, seperti Imam Bukhari. Sebagaimana ibarah ulama dalam hal ini mengatakan :

إن مـــبادئ كل فن عشرة *** الحد والموضوع ثم الثمره
وفضلــــه ونســــبته والـــواضع *** والإسم الإستمداد حكم الشارع
مسائل والبعض بالبعض إكتفى *** ومن درى الجميع حاز الشرف

Artinya : “ Bahwa sesungguhnya mukkadimah ilmu itu berisi 10 perkara, mulai dari definisi, pokok pembahasan, keutamaan, nisbah ilmu, peletak ilmu, nama ilmu, pengambilan ilmu, hukum mempelajari, permasalahan-permasalahan, barang siapa mengetahui hal-hal tersebut, maka ia akan mendapatkan kemuliaan (paham secara global ilmu yang akan dipelajari).”[2]

Ulama menambahkan 7 perkara, sebab melihat urgensitas dalam memahami suatu bidang ilmu secara garis besar sebelum ingin dikaji dan ia pelajari. begitupun ulama memiliki kaidah yang berbunyi :

" لا بد لكل شارع في كثرة من أن يتصورها بوحدة ما "

Arti singkatnya, yakni setiap pemula yang memulai belajar harus memiliki gambaran umum dari pada ilmu yang akan ia pelajarinya. Lalu, ulama menjadikan 10 hal tersebut sebagai pondasi utama untuk membantu seorang pelajar paham atas ilmu yang ia tekuni. Ulama mencontohkan seperti halnya, Ilmu Fikih itu pembahasan khusus yang terkait dengan hal-hal amal perbuatan seorang mukallaf (yang dikenakan beban oleh syariat). Dibahas di dalamnya; tata cara shalat, berzakat, haji, jual-beli terhadap sesama, masalah pernikahan, soal kriminalitas dan lain sebagainya. Lalu, mereka membedakan dengan ilmu kedokteran –misalnya-, apa yang membedakan antara Fikih dengan kedokteran, kemudian mereka menjawab yang menjadi pembedanya adalah ada pada pokok pembahasaannya. Jikalau fikih membahas terkait amalan seorang mukkalaf, sedangkan kedokteran mempelajari hal-hal yang terkait badan manusia dari segi kesehatan dan penyakit yang diderita.

Sekilas penjelasan mengenai mukkadimah ilmu. Yang memang realita sekarang kurang banyak digemari untuk mengetahui hal-hal tersebut, yang mungkin disebebabkan beberapa faktor diantaranya adalah keengganan sang pelajar membuka dan mengkaji ulang terhadap kitab-kitab ulama klasik itu.
Dengan demikian, kami sebagai duta Al-Azhar merasa terpanggil dan perlu untuk menyampaikan hal-hal tersebut kepada para pembaca, agar selama masa belajar-mengajar dapat memahami ilmu secara utuh, baik secara tekstual maupun kontekstual. Seperti tradisi pengajian di sekitar kuliah Al-Azhar, sebelum masuk pada materi pembahasan, seorang Syaikh –sebutan guru- pasti akan mengulas terlebih dahulu mukkadimah ilmu tersebut secara detail, bahkan bisa menghabiskan sebanyak dua atau tiga kali pertemuan. Dan lalu, kemudian hari selanjutnya baru mulai membahas materi ilmu tersebut.

Di samping ulama membahas apa yang dianggap sebuah keharusan bagi seorang pemula, yakni mukkadimah ilmu. Pada tahap selanjutnya, mereka menjelaskan cara atau metodologi yang digunakan oleh seorang penulis buku, yang ini disebut dengan mukkadimah kitab. Tahap kali ini, ulama memaparkan keterkaitan antar buku ini dengan buku-buku sebelumnya. Misalnya saja, pelajar tidak bisa membaca dan memahami kitab yang berbahasa Arab secara benar sebelum ia mempelajari ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu balaghah dan lain sebagainya. belum lagi kalau sudah masuk kepada ilmu ushul Fiqih –misalnya-, kita tidak dapat memahami ilmu ushul fiqih sebelum kita mempelajari ilmu mantiq, ilmu aqidah, ilmu balaghah. Artinya yang ingin kami tekankan di sini adalah bahwa seorang pelajar –khususnya dalam bidang syariah- harus melalui proses tahapan di mulai dari ilmu alat, seperti Ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu mantiq, ilmu balaghah, ilmu wadi’ dan lain sebagainya. itu semua harus sudah dipelajari agar dapat memiliki kemampuan untuk membaca dan memahami untuk tahapan ilmu selanjutnya secara sempurna.

Contoh dalam ilmu nahwu, kami diajarkan kitab Al-jurmiyyah, sebab kitab ini sangat cocok untuk para pemula –seperti kami-, lalu setelah selesai Al-jurmiyyah, diajarkan kitab As-sullam munawraq untuk ilmu mantiq, kemudian jika sudah dikaji, baru masuk pada ilmu akidah menggunakan kitab Al-kharidah al-bahiyyah, setelah tuntas mempelajari beberapa ilmu alat atau dasar pada bidang syariah, baru setelahnya mempelajari Ilmu ushul fikih, kaidah fikih, kitab-kitab fikih, dan lain sebagainya.

Mukkadimah ilmu juga dapat disebut dengan falsafah ilmu. Sebab, karena seorang peniliti tidak hanya sekedar membaca apa yang tertulis dibuku, melainkan ia juga memahami asal-muasal pemikiran atau pendapat sedemikian rupa itu dengan mengkomparasikan pendapat yang lain. Lalu, sampai menuai kritikan-kritikan ulama terhadap ideologi atau pemikiran tersebut. dan hal ini, yang menyebabkan berkembangnya khazanah keilmuan Islam sebagaimana sejarah mencatat awal mula muncul itu terjadi pada masa dinasti Abbasiyyah.

Nah, sekarang posisi pelajar adalah sebagai penerima pendapat ulama dengan mempelajari ilmu-ilmu yang mereka bukukan dari hasil pemikiran dari zaman ke zaman. Semisal ilmu dalam bidang ushul fikih, Jika seorang pemula ingin mengenal apa yang dipelajari dalam ilmu ushul fikih, maka ia hendaknya belajar dengan menggunakan kitab al-waraqat, karangan Imam Haramain. Buku ringkasan, mudah untuk dipelajari dengan berisikan istilah-istilah dasar dalam bidang ushul fikih dan dijadikan kitab mu’tamad oleh ulama untuk para pemula pelajar ilmu syariah.

DR. Syaikh Usamah Sayyid al-Azhary pernah menyampaikan dihadapan para murid-muridnya saat membahas tentang ‘Kharitatul ulum syar’iyyah’ atau terjemahan mudahnya Skema Ilmu syariah, dengan membagikan beberapa tahapan yang mesti dilalui seorang pelajar, khususnya Ilmu syariah, yang pertama yakni;[3]

1.   الفهم والإفهام

Pada tahapan ini, ilmu yang akan membantu pelajar untuk melewati fase ini adalah diantaranya; Ilmu nahwu, Ilmu sharf, Ilmu balaghah, Ilmu mantiq, dan ilmu dasar lainnya. Di sini, diajarkan bagaimana cara memahami teks-teks ulama dari zaman ke zaman. Sering kali, dapat dirasakan saat menelaah kitab-kitab yang klasik, kita menemukan kesulitan dalam memahami ibarah sang penulis kitab. Biasanya ulama klasik menggunakan kata-kata yang ringkas dengan makna yang luas, sangat berbeda ketika kita membaca kitab kontemporer saat ini. Dan tentu, teks klasik bisa dibaca dan dipahami oleh pelajar adalah dengan mempelajari ilmu-ilmu dasar dalam syariah, seperti permisalan yang telah ditulis di awal bab. Juga kemudian, para ulama sudah menggarisbawahi ketika pemula ingin belajar ilmu-ilmu dasar tersebut haruslah dengan guru-guru yang sudah kompeten dalam bidang nya, sehingga bisa menjembatani tangan para pelajar kepada tangan para ulama.

Dalam kepenulisan, ulama sering kali menggunakan istilah-istilah khusus  di kitab mereka. Seperti halnya; istilah ilmu mantik, pada bab pembagian lafaz, kita tidak dapat memahami ilmu ushul fikih secara utuh sebelum mempelajari ilmu mantik ini. Begitupun dalam ilmu akidah, pada bab penjelasan tentang jauhar, kita tak dapat memhami ilmu tersebut secara komprehensif sebelum mengkaji terlebih dahulu ilmu makulat (Ilmu pengantar akidah dan filsafat).

Kemudian, DR. Usamah al-Azhary menambahkan bahwa setiap bidang memiliki catatan historis awal mula yang menemukan ilmu tersebut dan kemanfaatannya yang dirasakan oleh para pelajarnya. Persis apa yang telah kami singgung di awal pembahasan, yakni perihal al-Mabadi al-Asyrah. Maka, dari itu sangat penting bagi pemula sebelum masuk pada pembahasannya untuk mengenal 10 perkara tersebut.

2.   التوثيق

Setelah kita diajarkan bagaimana cara memahami teks ulama secara cakap, pada fase kedua ini, kita diajarkan bagaimana cara untuk menerima periwayatan hadits yang disampaikan dari periode awal hingga ke sang penulis dengan ketentuan yang berlaku. Pengenalan metode ini, kita terdidik untuk lebih selektif ketika ingin menerima suatu kabar berita. Ulama punya pundi-pundi syarat dalam ketetapan periwayatan hadits yang dikatakan sah menurut para pakar hadits. dalam hal ini, ilmu yang membahas tentang hal-hal tersebut adalah Ilmu mustalah hadits.

Jika di atas, mempelajari rantai periwayatan hadits, ada satu bidang ilmu yang mengkaji para perawinya, siapa saja yang dinyatakan terpecaya dalam meriwayatkan, kuat pada hafalannya, baik budi pekertinya, hal-hal seperti ini dipelajari dalam ilmu al-jarh wa ta’dil.

Pada tahap ini pun, pemula diajarkan tidak hanya sekedar ketentuan-ketentuan yang berlaku ketika ingin menerima sebuah hadits, melainkan dilatih juga bagaimana cara berfikir para ulama dalam menentukan hadits yang dinyatakan sah menurutnya, ataupun tidak sah. Dan benar-benar dapat melatih otak kita agar terbiasa dengan gaya pemikiran ulama terdahulu.

Dan juga sebagian ulama pun ada yang menuliskan nama-nama perawi hadits dari zaman ke zaman, yang disertai sanad periwayatannya dari penulis hingga nabi saw. ulama menuliskan hal-hal seperti ini dalam ilmu ar-rijal.

Dan masih banyak lagi, ilmu yang bervariatif membahas etika-etika dalam penilaian keabsahan sebuah kabar berita atau hadits. yang kemudian dinilai oleh DR. Usamah al-azhary seorang pemula harus melalui proses belajar-mengajar pada tahap yang kedua ini. Sebagai penguatan sekaligus pembiasaan mengikuti gaya berfikir para ulama dan juga dapat mengkritisi pendapat ulama yang dianggap tidak sesuai dengan pendapatnya.

3.   الحجّية والتحليل

Lanjut, daripada tahad ini masuk di dalamnya ilmu ushul fikih, ilmu kalam, ilmu qur’an, ilmu tafsir, ilmu mantik, ilmu makulat, ilmu jadl wa munazharah. Macam-macam ilmu tersebut mengajarkan seorang pelajar bagaimana cara mengkolaborasikan antara dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits dengan kaidah-kaidah yang diterapkan dalam ilmu tersebut. semisal yakni; Ilmu ushul fikih, ada kaidah mengatakan ‘’ al-amru al-muthlaq al-mujarad bil qarinah yufidu lil wujub’’ yang kemudian ini digunakan saat melihat ayat ataupun hadits yang terdapat sebuah perintah dan terbebas dari sebuah qarinah, maka hal tersebut dihukumi wajib, mesti dilakukan bagi seorang mukallaf.

Dan juga ada kaidah lain, yang ketika terdapat dalam teks al-qur’an maupun hadits yang kontradiktif makna, jika tidak bisa digabungkan antar keduanya, maka harus segera ditarjih atau ditentukan mana yang dianggap lebih benar. Seperti, hadits tentang ziarah kubur bagi seorang wanita.

Contoh lain dari kaidah lain, adalah pembagian macam-macam dilalah yang memberikan petunjuk untuk menghasilkan sebuah konklusi dalam menentukan kandungan makna teks agama tersebut.

4.     بناء الإنسانية

Pada fase akhir ini, kalau boleh dikatakan bahwa fase dimana seorang penuntut ilmu merasakan manisnya ilmu yang berasaskan oleh ilmu-ilmu dasar syariat. Ketika seorang pemula hendak mempelajari ilmu fikih, yang saat itu ia sudah lebih dahulu mempelajari ilmu ushul fikih, maka ia akan merasakan keterkaitan pembahasan dari satu ilmu ke yang lainnya.

Tahap ini, berisikan ilmu-ilmu terapan, seperti; ilmu fikih, ilmu akhlak, yang tentu ditujukan untuk membentuk jiwa yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan hadits yang sesuai dengan ilmu-ilmu dasar syariat sebagaimana yang sudah diterapkan oleh ulama kita terdahulu, yang memiliki metodologi yang benar dalam belajar-mengajar.

Pada intinya, DR. Usamah  menyimpulkan bahwa jika seorang pelajar hakiki yang bersungguh-sungguh dalam belajar dan mengikuti metodologi yang benar dan lebih dahulu dilalui oleh ulama, maka ia akan sampai kepada pemahaman yang utuh dan komprehensif, tidak berlandaskan hawa nafsu belaka, menegakan pemahaman yang moderat dan tidak paham radikalisme apalagi paham liberalisme.

Risalah singkat yang bisa kami buat, semoga bermanfaat.



[1] Lihat ‘kitab at-Turuq al-Manhajiyyah karangan syaikh Mustafha Ridha al-Azhary’
[2] Lihat ‘al-Hasyiah ala syarh al-Asymuni’ karangan Abu Irfan Muhammad bin Ali Soban
[3] Isi materi didapatkan saat beliau menyampaikan nya pada sebuah kajian “kharitatul al-Ulum”

Filosofis Rukun Haji

Dalam Islam kita mengenal Al-Qur’an sebagai landasan hukum pertama, sedangkan Hadits sebagai landasan hukum kedua. Pada setiap amal perbuatan yang berkaitan ibadah kita mesti merujuk kepada sumber hukum, yakni dua landasan hukum tersebut. Dan jikalau kita cermati dan pelajari bahwa tidaklah Allah memerintahkan suatu amalan dapat dikatakan di sana mengandung sebuah ibrah atau hikmah yang dapat diambil pelajaran oleh umat Islam. seperti halnya ; kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan, dapat kita katakan bahwa amalan tersebut bertujuan untuk memelihara kesehatan, melangsingkan tubuh sampai dengan protes dalam mogok makan atau dalam berkabung. Puasa pada intinya adalah menahan diri untuk tidak melakukan apa yang terlarang menurut keyakinan atau pandangan pelakunya. Dan juga berpuasa bertujuan untuk menjadi bagian orang-orang yang bertakwa.

Pada kali ini, kita ingin membahas sedikit-banyak hal-hal apa saja yang terkait dengan ketentuan haji, hikmah-hikmah dibalik rukun haji dan mengulas kembali sejarah asal mula kewajiban haji tersebut.

 Dalam soal haji yang perlu digarisbawahi adalah Allah mewajibkan ibadah haji bagi yang mampu melaksanakannya sekali seumur hidup. Sebagimana firman Allah SWT :

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ "

Artinya : “ dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki atau mengendarai setiap unta kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh. ” (QS. Al-Hajj {22}:27)

Ayat di atas menjadi bukti atas kewajiban ibadah haji bagi umat muslim, yang pada saat itu ayat tersebut diturunkan untuk nabi Ibrahim A.s.
Kemudian, kemampuan yang dimaksud di atas adalah:
               1.      Kemampuan material
               2.      Kemampuan fisik
         3.      Kemampuan pengetahuan ibadah haji dan kesiapan mental
Berdasarkan Ayat Al-Qur’an yang berbunyi:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ "

Artinya : “ dan kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah ke baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu dari seluruh alam). “

Selain dari ketiga jenis kemampuan itu, harus juga terjamin keamaan baik dalam perjalanan menuju dan kembali, ditempat yang dituju, serta saat pelaksanaan ibadah hingga selesai. Keamanan keluarga yang ditinggal pun harus menjadi pertimbangan jangan sampai karena ditinggal pergi mereka menderita. Sedangkan ulama menambahkan syarat lain bagi wanita, yaitu mahram yang mendampinginya dalam perjalanan tersebut. dalam madzhab syarat ini dinilai tidak ketat. Artinya perempuan masih bisa pergi haji dengan orang yang terpecaya yang mendampinginya dalam satu kelompok. Itu pun secara khusus bagi wanita-wanita yang dikhawatirkan akan mengalami kesulitan.

Filosofis Simbol-simbol Haji

            1.      Pakaian Ihram;

Pakaian memiliki aneka fungsi. Selain sebagai hiasan, juga untuk melindungi pemakai dari sengatan panas dan dingin serta menjadi pembeda antara seseorang dengan yang lain. perbedaan itu tidak hanya bersifat material saja, tetapi sering kali juga dalam profesinya: militer atau sipil, angkatan udara, polisi, dan angkatan laut dan lain-lain. penanggalan pakaian sehari-hari menjadi symbol bahwa yang datang kepada Allah harus menanggalkan pakaian pembedanya dengan manusia lain. semua sama di hadapan Allah.

            2.      Melakukan Thawwaf

Thawwaf berkeliling ka’bah kea rah yang bertentangan dengan jarum jam ini melambangkan peleburan diri manusia bersama semua makhluk dalam kepatuhan kepada Allah sw. memang segala sesuatu mengarah kepada-Nya.

وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلَالُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ "

Artinya : “ dan semua sujud kepada Allah baik yang di langit maupun yang di bumi, baik dengan kemauan sendiri maupun terpaksa bayang-bayang mereka, pada waktu pagi dan petang hari. “ (QS. Al-ra’d {13}:15)

Menurut penelitian Elektron, cairan-cairan yang berada sel makhluk, bulan beredar mengelilingi bumi. Matahari dan bulan beredar mengelilingi galaksi dengan cara yang sama, yakni seperti cara Rasul berthawaf.

           3.      Melakukan Sa’I

Secara harfiah artinya usaha bersungguh-sungguh atau berjalan dengan sedikit cepat. Tempat sa’I adalah tempat ibunda hajar, istri Nabi Ibrahim A.s pergi mencari air untuk anaknya Ismail yang sedang kehausan. Sebab dahulu Nabi Ibrahim meletakkan Ibu Hajar di lembah yang gersang, tidak ada air sedikit pun. Ia lari dari bukit shafa ke bukit marwah mencari air tersebut.
Sa’I dilakukan yang intinya adalah menggambarkan bahwa tugas manusia melakukan usaha semaksimal mungkin dalam hal apapun. Jika ini dilakukan, yakinlah bahwa Allah akan membantu bantuan serupa seperti yang dialami oleh Ibunda Hajar.

           4.       Wuquf di Arafah

Arafah arena perenungan. Di sanalah Jemaah haji merenung tentang Tuhan dan panggilan-Nya serta tujuan panggilan itu. Merenung adalah denyut kehidupan rohani. Sebagaimana hidup jasmani ditandai denyut jantung maka hidup ruhani pun demikian. Tanpa renungan kehidupan ruhani pun berhenti, dan makna hidup menjadi kabur. Bila itu terjadi hari-hari di pentas bumi ini akan menjadi sia-sia.

           5.      Menggunting Rambut Cukur (Tahallul)

Tahallul merupakan tahap akhir pelaksanaan ibadah haji. Ibadah ini dijadikan lambing keamanan dan kedamaian. Rambut, yang biasanya hitam itu diibaratkan sebagai dosa-dosa yang telah dilakukan oleh manusia. mencukurnya bagaikan menanggalkan dosa-dosa itu dari diri yang bersangkutan.

Kesimpulan:

Dari paparan singkat di atas, paling tidak ini adalah rangkaian ibadah yang mesti dilalui oleh Sang haji untuk menjadikan hajinya dapat diterima di sisi Allah swt. Dan pada momen dan waktu mendekati hari-hari haji, sudah semestinya seorang muslim membaca peristiwa-peristiwa zaman nabi terdahulu untuk agar dapat dipelajari dan diambil hikmah dari apa yang mereka lakukan. Tidak lain, tidak bukan itu semua adalah telah diperintakan oleh baginda Muhammad saw. pada umatnya untuk senantiasa menuntut ilmu yang khususnya terkait dengan setiap ibadah ritual yang akan, sedang ia lakukan. Wa Allahu a’lam




Tradisi Yasinan

Sudah diketahui bahwa surat yasin adalah salah surat yang ada di Qur’an. Jika seorang muslim membaca Al-Qur’an, maka ia akan mendapatkan ganjaran pahala, begitupun dengan surat yasin. Dan ini tentu sudah disepakati oleh para ulama. Lalu, kemudian yang jadi masalah adalah ketika seorang muslim mengkhususkan pembacaan surat yasin pada waktu dan momen tertentu saja ditujukan untuk menghadiahkan untuk orang yang sudah meninggal. Sebagaimana tradisi masyarakat yang sudah mendarah daging. Semisal, baca yasinan untuk 7 harian, 40 harian, atau dimalam jum’at dan lain sebagainya.

Sebelum sampai pada inti pembahasan, alangkah baiknya kita kupas terlebih dahulu, apa saja yang bisa diterima oleh orang yang sudah wafat? Apa saja yang bisa dimanfaatkan oleh orang yang sudah wafat? Kurang lebih ada 7 perkara, yaitu ;

            1.    Amal kita sendiri

Hadits Rasulullah SAW diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Ra. Dituliskan oleh Imam Muslim dalam kitabnya ;
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Artinya : "Apabila Manusia meninggal Dunia maka terputuslah amalnya kecuali karena tiga hal, 1. Shadaqah jariyah, 2. Ilmu yang bermanfaat, atau 3. Anak shaleh yang mendoakannya". (HR. Muslim)
Di sini, Nabi mengecualikan suatu manfaat yang masih terus dapat rasakan oleh mayit. Seperti contohnya, sedakah jariyah seperti wakaf masjid, wakat pesantren, dsb.
Dan yang jadi permasalahan, Apakah bisa amalan orang lain dihadiahkan oleh si mayit tersebut? (diakhir pembahasan)

            2.     Doa orang hidup untuk mayit

Doa dari orang yang masih hidup untuk mayit. Dalil kebolehannya adalah ;
      Surat Al-Mumin Ayat 7 :

 الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ

Artinya : (Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala. “

Catatan : Malaikat memintakan ampunan untuk orang-orang yang beriman, bukan minta ampunan karena malaikat terbebas dari dosa. Ini menjadi dalil Al-Qur’an bahwa meskipun orang sudah meninggal amal orang lain bisa bermanfaat bagi mayit tersebut.
-        Surat Al Hasyr: 10

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya : “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang“.” (QS. Al Hasyr: 10)
                Catatan : di sini, orang mukmin memintakan ampunan untuk orang-orang yang sudah mendahului mereka walaupun itu bukan dari anaknya. Berbeda dengan hadits pertama yang menyebutkan anak mendoakan orang tua nya tersebut.
           3.     Sedekah orang hidup untuk mayit (diniatkan)
 Fatwa Imam Ibnu Taimiyah, dalam fatawa nya :
" واما الصدقة عن الميت فإنه ينتفع بها باتفاق العلماء "  فقد وردت الأحاديث عن بذالك
Artinya : “ Adapun, bersedekah diniatkan untuk mayit itu dapat bermanfaat, disepekati oleh ulama.” Banyak hadits yang meriwayatkan hal tersebut
          4.     Haji orang hidup diniatkan untuk mayit (badal haji)
   Semasa hidup belum sempat untuk pergi haji berbagai macam alasan dan kondisi yang tidak memungkinkan melakukan kewajiban tersebut. Kemudian, anak, cucu, saudara kakak, paman, yang semuanya dari ahli waris ataupun orang lain yang mereka sudah pernah menunaikan haji sebelumnya, maka boleh membadalkan haji orang lain atau mayit tersebut.
ما روى ابن عباس رضي الله عنهما أن امرأة من خثعم أتت النبي صلى الله عليه و سلم فقالت : يا رسول الله إن فريضة الله في الحج على عباده أدركت أبي شيخا كبيرا لا يستطيع أن يستمسك على الراحلة أفأحج عنه ؟ قال : نعم قالت : أينفعه ذلك ؟ قال نعم كما لو كان على أبيك دين فقضيته نفعه
Artinya : “Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abbas ra. Bahwa ada seorang wanita dari Khath'am mendatangi Nabi Muhammad SAW. Lalu berkata : Wahai Rasulullah Fardlu haji yang diwajibkan Allah kepada seluruh umat islam telah sampai kepada ayahku sementara dia adalah orang tua yang sudah tidak mampu lagi bertahan di atas kendaraan, apakah saya haji untuknya? Beliau menjawab : iya, si perempuan balik bertanya : apakah itu akan bermanfaat untuknya? Dijawab lagi oleh Rasulullah, bila ayahmu memiliki hutang lalu kamu penuhi hutang tersebut, maka hal tersebut bermanfaat.”
Catatan : dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya haji badal hukumnya diperbolehkan dan bagi yang dibadalkan mendapatkan manfaat atau pahala dari orang yang membadalkan haji nya.
          5.   Membayarkan hutang si mayit
Pernah suatu ketika Nabi menanyakan kepada para sahabatnya apakah si mayit dia punya hutang? Bagi yang menghutangi apakah mau memaafkan nya atau tidak?
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”
Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda,
أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ
Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya. Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.
Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib ataukah tidak, di sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal. Sebagian lagi mengatakan tidak wajib.
      6.     Puasa untuk mayyit
Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ” Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris
7.     Menghadiahkan bacaan Al-Qur’an untuk mayit
Berbeda pendapat ulama. Imam Nawawi, yang masyhur dalam mazhab Syafi’I adalah sesungguhnya bacaan ayat Al-Qur’an untuk si mayit pahala nya tidak sampai kepada yang sudah meninggal. Akan tetapi, banyak ulama syafiiyah tidak berkata demikian, melainkan  berkata ;
 (Pahala nya sampai kepada si mayit) " يصل ثوابها "
Dalam mazhab Imam Ahmad, justru pahala bacaan ayat Al-Qur’an yang dihadiahkan untuk si mayit sampai kepadanya. (disebutkan syarh sahih muslim oleh Imam Muslim)
Ibnu Qudamah, di kitab Al-Mughni : Bahwa sampai bacaan Al-Qur’an ke mayit disandarkan dengan hadits-hadits sahih. Baik ibadah badaniyah atau Maliyah itu semua sampai pahala nya kepada si mayit.
Ibnu Qudamah berkata :
" في ثواب من قرأ سورة يس تخفيف الله بقرائته ولأنه إجماع المسلمين فإنه في كل عصر ومصر  يجتمعون ويقرؤون القران ويهدون الي موتاهم من غير نكير "
Artinya : “ ganjaran pahala bagi orang-orang yang membaca salah surat dalam Al Qur’an seperti Yasin, adalah untuk mendapatkan keringanan siksaan dengan membacanya, dan karena sudah sepakat ulama di setiap zaman dan tempat, mereka berkumpul dan menghadiahkan bacaan tersebut untuk si mayit, dan hal ini tidak diperselisihkan oleh ulama.”
Dalam Mazhab Hanafi :
" فقد صرح الحنفية بانتفاع الميت بإهداء ثواب بعض القران له "
Artinya : “ Telah dinyatakan secara jelas atas manfaat yang diterima oleh mayit yang dihadiahkan dari bacaan ayat Al Qur’an.” (disebutkan dalam kitab Aduru al Mukhtar fii rad Al Mukhtar)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam fatawa nya berkata :
" أن ثوابها يصل إليه "
Artinya : “ Pahala bacaan sampai kepadanya.”
Syarat agar sampai kepada si mayyit, ;
-         الأ تكون قراءة القارئ بعوض
(harus membacakan Al Qur’an untuknya tanpa imbalan, niat tulus karena Allah SWT dan menghadiahkan pahala bacaan kepada si mayit)
Syaikh Ibnu Taimiyah :
" وأما استئجار بنفس القراءة والإمتاع فلا يصح بذالك لأن لا يجوز إيقائها لان لا لاجل التقرب الي الله تعالي "
Artinya : “Transaksional diawal dengan mensyaratkan agar memberikan upah tidak diperbolehkan, karena hal itu tidak dapat dibenarkan karena niat bukan untuk Allah SWT.”
Kesimpulan :
permasalahan menghadiahkan bacaan Al-Qur’an atau dalam tradisi masyarakat ini disebut dengan 'yasinan' ulama berbeda pendapat. Mazhab Imam Abu Hanifah, Mazhab Imam Ahmad, ulama malikiyah, mayoritas Mazhab Imam Syafii membolehkan melakukan hal tersebut, yakni menghadiahkan pahala puasa, sedekah dan bacaan Al-Qur’an dapat diterima oleh mayit, arti lain sampai kepada si mayit, dengan syarat tidak dijadikan lahan bisnis, agar niat tetap ditujukan untuk Allah SWT bukan hal yang lain. Sedangkan sebagian ulama Malikiyah dan Sebagian ulama Syafiiyah tidak berpendapat demikian.
Adapun terkait pengkhususan waktu dan momen tertentu saat pelaksanaan baca yasinan tersebut bukanlah termasuk perkara bid'ah sebagaimana yang disampaikan oleh kelompok paham radikalisme. Sebagaimana penetapan ulama suatu amalan yang senantiasa dilakukan oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan prinsip dan pilar-pilar dalam syariat tidaklah hal tersebut dilarang. Begitupun statemen bahwa setiap perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi semua nya bid'ah itu tidak dapat dibenarkan, sebab banyak amalan-amalan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi, tapi dilakukan oleh para sahabat dan generasi selanjutnya, semisal pengkodifikasian Al-Qur'an, bacaan doa i'tidal, shalat tarawih berjamaah, pergi haji menggunakan pesawat, dsb.Wallahu a’lam
(ditulis oleh Muhammad Ar’rafii, Mahasiswa Al-Azhar, Kairo – Mesir)







Islamic Ethics

Kata ‘Ethic’ dalam bahasa Inggris didefinisikan sebagai etika, akhlak, atau budi pekerti. Tidak sedikit kata bahasa Indonesia merupakan ...