Senin, 12 Agustus 2019

Skema Ilmu Syariat


Dalam dunia pendidikan, seorang pelajar harus mengetahui cara yang tepat untuk dapat menimba ilmu sesuai dengan apa yang sudah dilalui oleh para ulama. Seorang pakar, seperti Prof. DR. Ali Jum’ah (mantan mufti mesir) pernah mengatakan bahwa rukun ilmu itu terbagi menjadi 5 perkara, yakni : Sang pelajar, sang guru, kitab, lingkungan, metode belajar[1]. pada paparan tersebut, ia ingin menegaskan dalam perjalanan proses kegiatan belajar-mengajar harus memahami 5 pondasi penting tersebut, agar dapat mencapai pada tujuan akhir seorang pelajar, yakni memahami secara utuh dan komprehensif setiap bidang ilmu yang diajarkan.

Selama proses belajar di Al-Azhar -Mesir, Kami diajarkan bagaimana cara belajar dengan metode yang sesuai diterapkan oleh para ulama klasik. Di sisi lain, Al-Azhar sebagai kiblat ilmu dan juga mempunyai guru-guru yang memiliki integritas dalam mengajar dan kompeten dalam bidang yang digelutinya.
Seorang pakar ternama, seperti Sa'ad al-Din Masud ibn Umar ibn Abd Allah al-Taftazani w.790 H/1388 M pernah menjelaskan mengenai hal-hal tersebut, yaitu perihal;
          1.     Mukkadimah ilmu
a.     Definisi (الحد)
b.     Pokok pembahasan (الموضوع)
c.      Tujuan pembahasan (الغاية)

Semisal Ilmu Hadits, didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari apa-apa yang disandangkan pada nabi saw. dari perkataan, perbuatan, ketetapan, dan lain-lain. sedangkan, pokok pembahasanya yaitu, segala yang terkait dengan nabi saw. lalu, dipelajari ilmu ini bertujuan untuk mengetahui rantai sanad hadits dari rasulullah hingga penulis hadits, seperti Imam Bukhari. Sebagaimana ibarah ulama dalam hal ini mengatakan :

إن مـــبادئ كل فن عشرة *** الحد والموضوع ثم الثمره
وفضلــــه ونســــبته والـــواضع *** والإسم الإستمداد حكم الشارع
مسائل والبعض بالبعض إكتفى *** ومن درى الجميع حاز الشرف

Artinya : “ Bahwa sesungguhnya mukkadimah ilmu itu berisi 10 perkara, mulai dari definisi, pokok pembahasan, keutamaan, nisbah ilmu, peletak ilmu, nama ilmu, pengambilan ilmu, hukum mempelajari, permasalahan-permasalahan, barang siapa mengetahui hal-hal tersebut, maka ia akan mendapatkan kemuliaan (paham secara global ilmu yang akan dipelajari).”[2]

Ulama menambahkan 7 perkara, sebab melihat urgensitas dalam memahami suatu bidang ilmu secara garis besar sebelum ingin dikaji dan ia pelajari. begitupun ulama memiliki kaidah yang berbunyi :

" لا بد لكل شارع في كثرة من أن يتصورها بوحدة ما "

Arti singkatnya, yakni setiap pemula yang memulai belajar harus memiliki gambaran umum dari pada ilmu yang akan ia pelajarinya. Lalu, ulama menjadikan 10 hal tersebut sebagai pondasi utama untuk membantu seorang pelajar paham atas ilmu yang ia tekuni. Ulama mencontohkan seperti halnya, Ilmu Fikih itu pembahasan khusus yang terkait dengan hal-hal amal perbuatan seorang mukallaf (yang dikenakan beban oleh syariat). Dibahas di dalamnya; tata cara shalat, berzakat, haji, jual-beli terhadap sesama, masalah pernikahan, soal kriminalitas dan lain sebagainya. Lalu, mereka membedakan dengan ilmu kedokteran –misalnya-, apa yang membedakan antara Fikih dengan kedokteran, kemudian mereka menjawab yang menjadi pembedanya adalah ada pada pokok pembahasaannya. Jikalau fikih membahas terkait amalan seorang mukkalaf, sedangkan kedokteran mempelajari hal-hal yang terkait badan manusia dari segi kesehatan dan penyakit yang diderita.

Sekilas penjelasan mengenai mukkadimah ilmu. Yang memang realita sekarang kurang banyak digemari untuk mengetahui hal-hal tersebut, yang mungkin disebebabkan beberapa faktor diantaranya adalah keengganan sang pelajar membuka dan mengkaji ulang terhadap kitab-kitab ulama klasik itu.
Dengan demikian, kami sebagai duta Al-Azhar merasa terpanggil dan perlu untuk menyampaikan hal-hal tersebut kepada para pembaca, agar selama masa belajar-mengajar dapat memahami ilmu secara utuh, baik secara tekstual maupun kontekstual. Seperti tradisi pengajian di sekitar kuliah Al-Azhar, sebelum masuk pada materi pembahasan, seorang Syaikh –sebutan guru- pasti akan mengulas terlebih dahulu mukkadimah ilmu tersebut secara detail, bahkan bisa menghabiskan sebanyak dua atau tiga kali pertemuan. Dan lalu, kemudian hari selanjutnya baru mulai membahas materi ilmu tersebut.

Di samping ulama membahas apa yang dianggap sebuah keharusan bagi seorang pemula, yakni mukkadimah ilmu. Pada tahap selanjutnya, mereka menjelaskan cara atau metodologi yang digunakan oleh seorang penulis buku, yang ini disebut dengan mukkadimah kitab. Tahap kali ini, ulama memaparkan keterkaitan antar buku ini dengan buku-buku sebelumnya. Misalnya saja, pelajar tidak bisa membaca dan memahami kitab yang berbahasa Arab secara benar sebelum ia mempelajari ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu balaghah dan lain sebagainya. belum lagi kalau sudah masuk kepada ilmu ushul Fiqih –misalnya-, kita tidak dapat memahami ilmu ushul fiqih sebelum kita mempelajari ilmu mantiq, ilmu aqidah, ilmu balaghah. Artinya yang ingin kami tekankan di sini adalah bahwa seorang pelajar –khususnya dalam bidang syariah- harus melalui proses tahapan di mulai dari ilmu alat, seperti Ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu mantiq, ilmu balaghah, ilmu wadi’ dan lain sebagainya. itu semua harus sudah dipelajari agar dapat memiliki kemampuan untuk membaca dan memahami untuk tahapan ilmu selanjutnya secara sempurna.

Contoh dalam ilmu nahwu, kami diajarkan kitab Al-jurmiyyah, sebab kitab ini sangat cocok untuk para pemula –seperti kami-, lalu setelah selesai Al-jurmiyyah, diajarkan kitab As-sullam munawraq untuk ilmu mantiq, kemudian jika sudah dikaji, baru masuk pada ilmu akidah menggunakan kitab Al-kharidah al-bahiyyah, setelah tuntas mempelajari beberapa ilmu alat atau dasar pada bidang syariah, baru setelahnya mempelajari Ilmu ushul fikih, kaidah fikih, kitab-kitab fikih, dan lain sebagainya.

Mukkadimah ilmu juga dapat disebut dengan falsafah ilmu. Sebab, karena seorang peniliti tidak hanya sekedar membaca apa yang tertulis dibuku, melainkan ia juga memahami asal-muasal pemikiran atau pendapat sedemikian rupa itu dengan mengkomparasikan pendapat yang lain. Lalu, sampai menuai kritikan-kritikan ulama terhadap ideologi atau pemikiran tersebut. dan hal ini, yang menyebabkan berkembangnya khazanah keilmuan Islam sebagaimana sejarah mencatat awal mula muncul itu terjadi pada masa dinasti Abbasiyyah.

Nah, sekarang posisi pelajar adalah sebagai penerima pendapat ulama dengan mempelajari ilmu-ilmu yang mereka bukukan dari hasil pemikiran dari zaman ke zaman. Semisal ilmu dalam bidang ushul fikih, Jika seorang pemula ingin mengenal apa yang dipelajari dalam ilmu ushul fikih, maka ia hendaknya belajar dengan menggunakan kitab al-waraqat, karangan Imam Haramain. Buku ringkasan, mudah untuk dipelajari dengan berisikan istilah-istilah dasar dalam bidang ushul fikih dan dijadikan kitab mu’tamad oleh ulama untuk para pemula pelajar ilmu syariah.

DR. Syaikh Usamah Sayyid al-Azhary pernah menyampaikan dihadapan para murid-muridnya saat membahas tentang ‘Kharitatul ulum syar’iyyah’ atau terjemahan mudahnya Skema Ilmu syariah, dengan membagikan beberapa tahapan yang mesti dilalui seorang pelajar, khususnya Ilmu syariah, yang pertama yakni;[3]

1.   الفهم والإفهام

Pada tahapan ini, ilmu yang akan membantu pelajar untuk melewati fase ini adalah diantaranya; Ilmu nahwu, Ilmu sharf, Ilmu balaghah, Ilmu mantiq, dan ilmu dasar lainnya. Di sini, diajarkan bagaimana cara memahami teks-teks ulama dari zaman ke zaman. Sering kali, dapat dirasakan saat menelaah kitab-kitab yang klasik, kita menemukan kesulitan dalam memahami ibarah sang penulis kitab. Biasanya ulama klasik menggunakan kata-kata yang ringkas dengan makna yang luas, sangat berbeda ketika kita membaca kitab kontemporer saat ini. Dan tentu, teks klasik bisa dibaca dan dipahami oleh pelajar adalah dengan mempelajari ilmu-ilmu dasar dalam syariah, seperti permisalan yang telah ditulis di awal bab. Juga kemudian, para ulama sudah menggarisbawahi ketika pemula ingin belajar ilmu-ilmu dasar tersebut haruslah dengan guru-guru yang sudah kompeten dalam bidang nya, sehingga bisa menjembatani tangan para pelajar kepada tangan para ulama.

Dalam kepenulisan, ulama sering kali menggunakan istilah-istilah khusus  di kitab mereka. Seperti halnya; istilah ilmu mantik, pada bab pembagian lafaz, kita tidak dapat memahami ilmu ushul fikih secara utuh sebelum mempelajari ilmu mantik ini. Begitupun dalam ilmu akidah, pada bab penjelasan tentang jauhar, kita tak dapat memhami ilmu tersebut secara komprehensif sebelum mengkaji terlebih dahulu ilmu makulat (Ilmu pengantar akidah dan filsafat).

Kemudian, DR. Usamah al-Azhary menambahkan bahwa setiap bidang memiliki catatan historis awal mula yang menemukan ilmu tersebut dan kemanfaatannya yang dirasakan oleh para pelajarnya. Persis apa yang telah kami singgung di awal pembahasan, yakni perihal al-Mabadi al-Asyrah. Maka, dari itu sangat penting bagi pemula sebelum masuk pada pembahasannya untuk mengenal 10 perkara tersebut.

2.   التوثيق

Setelah kita diajarkan bagaimana cara memahami teks ulama secara cakap, pada fase kedua ini, kita diajarkan bagaimana cara untuk menerima periwayatan hadits yang disampaikan dari periode awal hingga ke sang penulis dengan ketentuan yang berlaku. Pengenalan metode ini, kita terdidik untuk lebih selektif ketika ingin menerima suatu kabar berita. Ulama punya pundi-pundi syarat dalam ketetapan periwayatan hadits yang dikatakan sah menurut para pakar hadits. dalam hal ini, ilmu yang membahas tentang hal-hal tersebut adalah Ilmu mustalah hadits.

Jika di atas, mempelajari rantai periwayatan hadits, ada satu bidang ilmu yang mengkaji para perawinya, siapa saja yang dinyatakan terpecaya dalam meriwayatkan, kuat pada hafalannya, baik budi pekertinya, hal-hal seperti ini dipelajari dalam ilmu al-jarh wa ta’dil.

Pada tahap ini pun, pemula diajarkan tidak hanya sekedar ketentuan-ketentuan yang berlaku ketika ingin menerima sebuah hadits, melainkan dilatih juga bagaimana cara berfikir para ulama dalam menentukan hadits yang dinyatakan sah menurutnya, ataupun tidak sah. Dan benar-benar dapat melatih otak kita agar terbiasa dengan gaya pemikiran ulama terdahulu.

Dan juga sebagian ulama pun ada yang menuliskan nama-nama perawi hadits dari zaman ke zaman, yang disertai sanad periwayatannya dari penulis hingga nabi saw. ulama menuliskan hal-hal seperti ini dalam ilmu ar-rijal.

Dan masih banyak lagi, ilmu yang bervariatif membahas etika-etika dalam penilaian keabsahan sebuah kabar berita atau hadits. yang kemudian dinilai oleh DR. Usamah al-azhary seorang pemula harus melalui proses belajar-mengajar pada tahap yang kedua ini. Sebagai penguatan sekaligus pembiasaan mengikuti gaya berfikir para ulama dan juga dapat mengkritisi pendapat ulama yang dianggap tidak sesuai dengan pendapatnya.

3.   الحجّية والتحليل

Lanjut, daripada tahad ini masuk di dalamnya ilmu ushul fikih, ilmu kalam, ilmu qur’an, ilmu tafsir, ilmu mantik, ilmu makulat, ilmu jadl wa munazharah. Macam-macam ilmu tersebut mengajarkan seorang pelajar bagaimana cara mengkolaborasikan antara dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits dengan kaidah-kaidah yang diterapkan dalam ilmu tersebut. semisal yakni; Ilmu ushul fikih, ada kaidah mengatakan ‘’ al-amru al-muthlaq al-mujarad bil qarinah yufidu lil wujub’’ yang kemudian ini digunakan saat melihat ayat ataupun hadits yang terdapat sebuah perintah dan terbebas dari sebuah qarinah, maka hal tersebut dihukumi wajib, mesti dilakukan bagi seorang mukallaf.

Dan juga ada kaidah lain, yang ketika terdapat dalam teks al-qur’an maupun hadits yang kontradiktif makna, jika tidak bisa digabungkan antar keduanya, maka harus segera ditarjih atau ditentukan mana yang dianggap lebih benar. Seperti, hadits tentang ziarah kubur bagi seorang wanita.

Contoh lain dari kaidah lain, adalah pembagian macam-macam dilalah yang memberikan petunjuk untuk menghasilkan sebuah konklusi dalam menentukan kandungan makna teks agama tersebut.

4.     بناء الإنسانية

Pada fase akhir ini, kalau boleh dikatakan bahwa fase dimana seorang penuntut ilmu merasakan manisnya ilmu yang berasaskan oleh ilmu-ilmu dasar syariat. Ketika seorang pemula hendak mempelajari ilmu fikih, yang saat itu ia sudah lebih dahulu mempelajari ilmu ushul fikih, maka ia akan merasakan keterkaitan pembahasan dari satu ilmu ke yang lainnya.

Tahap ini, berisikan ilmu-ilmu terapan, seperti; ilmu fikih, ilmu akhlak, yang tentu ditujukan untuk membentuk jiwa yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan hadits yang sesuai dengan ilmu-ilmu dasar syariat sebagaimana yang sudah diterapkan oleh ulama kita terdahulu, yang memiliki metodologi yang benar dalam belajar-mengajar.

Pada intinya, DR. Usamah  menyimpulkan bahwa jika seorang pelajar hakiki yang bersungguh-sungguh dalam belajar dan mengikuti metodologi yang benar dan lebih dahulu dilalui oleh ulama, maka ia akan sampai kepada pemahaman yang utuh dan komprehensif, tidak berlandaskan hawa nafsu belaka, menegakan pemahaman yang moderat dan tidak paham radikalisme apalagi paham liberalisme.

Risalah singkat yang bisa kami buat, semoga bermanfaat.



[1] Lihat ‘kitab at-Turuq al-Manhajiyyah karangan syaikh Mustafha Ridha al-Azhary’
[2] Lihat ‘al-Hasyiah ala syarh al-Asymuni’ karangan Abu Irfan Muhammad bin Ali Soban
[3] Isi materi didapatkan saat beliau menyampaikan nya pada sebuah kajian “kharitatul al-Ulum”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Islamic Ethics

Kata ‘Ethic’ dalam bahasa Inggris didefinisikan sebagai etika, akhlak, atau budi pekerti. Tidak sedikit kata bahasa Indonesia merupakan ...