Senin, 12 Agustus 2019

Skema Ilmu Syariat


Dalam dunia pendidikan, seorang pelajar harus mengetahui cara yang tepat untuk dapat menimba ilmu sesuai dengan apa yang sudah dilalui oleh para ulama. Seorang pakar, seperti Prof. DR. Ali Jum’ah (mantan mufti mesir) pernah mengatakan bahwa rukun ilmu itu terbagi menjadi 5 perkara, yakni : Sang pelajar, sang guru, kitab, lingkungan, metode belajar[1]. pada paparan tersebut, ia ingin menegaskan dalam perjalanan proses kegiatan belajar-mengajar harus memahami 5 pondasi penting tersebut, agar dapat mencapai pada tujuan akhir seorang pelajar, yakni memahami secara utuh dan komprehensif setiap bidang ilmu yang diajarkan.

Selama proses belajar di Al-Azhar -Mesir, Kami diajarkan bagaimana cara belajar dengan metode yang sesuai diterapkan oleh para ulama klasik. Di sisi lain, Al-Azhar sebagai kiblat ilmu dan juga mempunyai guru-guru yang memiliki integritas dalam mengajar dan kompeten dalam bidang yang digelutinya.
Seorang pakar ternama, seperti Sa'ad al-Din Masud ibn Umar ibn Abd Allah al-Taftazani w.790 H/1388 M pernah menjelaskan mengenai hal-hal tersebut, yaitu perihal;
          1.     Mukkadimah ilmu
a.     Definisi (الحد)
b.     Pokok pembahasan (الموضوع)
c.      Tujuan pembahasan (الغاية)

Semisal Ilmu Hadits, didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari apa-apa yang disandangkan pada nabi saw. dari perkataan, perbuatan, ketetapan, dan lain-lain. sedangkan, pokok pembahasanya yaitu, segala yang terkait dengan nabi saw. lalu, dipelajari ilmu ini bertujuan untuk mengetahui rantai sanad hadits dari rasulullah hingga penulis hadits, seperti Imam Bukhari. Sebagaimana ibarah ulama dalam hal ini mengatakan :

إن مـــبادئ كل فن عشرة *** الحد والموضوع ثم الثمره
وفضلــــه ونســــبته والـــواضع *** والإسم الإستمداد حكم الشارع
مسائل والبعض بالبعض إكتفى *** ومن درى الجميع حاز الشرف

Artinya : “ Bahwa sesungguhnya mukkadimah ilmu itu berisi 10 perkara, mulai dari definisi, pokok pembahasan, keutamaan, nisbah ilmu, peletak ilmu, nama ilmu, pengambilan ilmu, hukum mempelajari, permasalahan-permasalahan, barang siapa mengetahui hal-hal tersebut, maka ia akan mendapatkan kemuliaan (paham secara global ilmu yang akan dipelajari).”[2]

Ulama menambahkan 7 perkara, sebab melihat urgensitas dalam memahami suatu bidang ilmu secara garis besar sebelum ingin dikaji dan ia pelajari. begitupun ulama memiliki kaidah yang berbunyi :

" لا بد لكل شارع في كثرة من أن يتصورها بوحدة ما "

Arti singkatnya, yakni setiap pemula yang memulai belajar harus memiliki gambaran umum dari pada ilmu yang akan ia pelajarinya. Lalu, ulama menjadikan 10 hal tersebut sebagai pondasi utama untuk membantu seorang pelajar paham atas ilmu yang ia tekuni. Ulama mencontohkan seperti halnya, Ilmu Fikih itu pembahasan khusus yang terkait dengan hal-hal amal perbuatan seorang mukallaf (yang dikenakan beban oleh syariat). Dibahas di dalamnya; tata cara shalat, berzakat, haji, jual-beli terhadap sesama, masalah pernikahan, soal kriminalitas dan lain sebagainya. Lalu, mereka membedakan dengan ilmu kedokteran –misalnya-, apa yang membedakan antara Fikih dengan kedokteran, kemudian mereka menjawab yang menjadi pembedanya adalah ada pada pokok pembahasaannya. Jikalau fikih membahas terkait amalan seorang mukkalaf, sedangkan kedokteran mempelajari hal-hal yang terkait badan manusia dari segi kesehatan dan penyakit yang diderita.

Sekilas penjelasan mengenai mukkadimah ilmu. Yang memang realita sekarang kurang banyak digemari untuk mengetahui hal-hal tersebut, yang mungkin disebebabkan beberapa faktor diantaranya adalah keengganan sang pelajar membuka dan mengkaji ulang terhadap kitab-kitab ulama klasik itu.
Dengan demikian, kami sebagai duta Al-Azhar merasa terpanggil dan perlu untuk menyampaikan hal-hal tersebut kepada para pembaca, agar selama masa belajar-mengajar dapat memahami ilmu secara utuh, baik secara tekstual maupun kontekstual. Seperti tradisi pengajian di sekitar kuliah Al-Azhar, sebelum masuk pada materi pembahasan, seorang Syaikh –sebutan guru- pasti akan mengulas terlebih dahulu mukkadimah ilmu tersebut secara detail, bahkan bisa menghabiskan sebanyak dua atau tiga kali pertemuan. Dan lalu, kemudian hari selanjutnya baru mulai membahas materi ilmu tersebut.

Di samping ulama membahas apa yang dianggap sebuah keharusan bagi seorang pemula, yakni mukkadimah ilmu. Pada tahap selanjutnya, mereka menjelaskan cara atau metodologi yang digunakan oleh seorang penulis buku, yang ini disebut dengan mukkadimah kitab. Tahap kali ini, ulama memaparkan keterkaitan antar buku ini dengan buku-buku sebelumnya. Misalnya saja, pelajar tidak bisa membaca dan memahami kitab yang berbahasa Arab secara benar sebelum ia mempelajari ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu balaghah dan lain sebagainya. belum lagi kalau sudah masuk kepada ilmu ushul Fiqih –misalnya-, kita tidak dapat memahami ilmu ushul fiqih sebelum kita mempelajari ilmu mantiq, ilmu aqidah, ilmu balaghah. Artinya yang ingin kami tekankan di sini adalah bahwa seorang pelajar –khususnya dalam bidang syariah- harus melalui proses tahapan di mulai dari ilmu alat, seperti Ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu mantiq, ilmu balaghah, ilmu wadi’ dan lain sebagainya. itu semua harus sudah dipelajari agar dapat memiliki kemampuan untuk membaca dan memahami untuk tahapan ilmu selanjutnya secara sempurna.

Contoh dalam ilmu nahwu, kami diajarkan kitab Al-jurmiyyah, sebab kitab ini sangat cocok untuk para pemula –seperti kami-, lalu setelah selesai Al-jurmiyyah, diajarkan kitab As-sullam munawraq untuk ilmu mantiq, kemudian jika sudah dikaji, baru masuk pada ilmu akidah menggunakan kitab Al-kharidah al-bahiyyah, setelah tuntas mempelajari beberapa ilmu alat atau dasar pada bidang syariah, baru setelahnya mempelajari Ilmu ushul fikih, kaidah fikih, kitab-kitab fikih, dan lain sebagainya.

Mukkadimah ilmu juga dapat disebut dengan falsafah ilmu. Sebab, karena seorang peniliti tidak hanya sekedar membaca apa yang tertulis dibuku, melainkan ia juga memahami asal-muasal pemikiran atau pendapat sedemikian rupa itu dengan mengkomparasikan pendapat yang lain. Lalu, sampai menuai kritikan-kritikan ulama terhadap ideologi atau pemikiran tersebut. dan hal ini, yang menyebabkan berkembangnya khazanah keilmuan Islam sebagaimana sejarah mencatat awal mula muncul itu terjadi pada masa dinasti Abbasiyyah.

Nah, sekarang posisi pelajar adalah sebagai penerima pendapat ulama dengan mempelajari ilmu-ilmu yang mereka bukukan dari hasil pemikiran dari zaman ke zaman. Semisal ilmu dalam bidang ushul fikih, Jika seorang pemula ingin mengenal apa yang dipelajari dalam ilmu ushul fikih, maka ia hendaknya belajar dengan menggunakan kitab al-waraqat, karangan Imam Haramain. Buku ringkasan, mudah untuk dipelajari dengan berisikan istilah-istilah dasar dalam bidang ushul fikih dan dijadikan kitab mu’tamad oleh ulama untuk para pemula pelajar ilmu syariah.

DR. Syaikh Usamah Sayyid al-Azhary pernah menyampaikan dihadapan para murid-muridnya saat membahas tentang ‘Kharitatul ulum syar’iyyah’ atau terjemahan mudahnya Skema Ilmu syariah, dengan membagikan beberapa tahapan yang mesti dilalui seorang pelajar, khususnya Ilmu syariah, yang pertama yakni;[3]

1.   الفهم والإفهام

Pada tahapan ini, ilmu yang akan membantu pelajar untuk melewati fase ini adalah diantaranya; Ilmu nahwu, Ilmu sharf, Ilmu balaghah, Ilmu mantiq, dan ilmu dasar lainnya. Di sini, diajarkan bagaimana cara memahami teks-teks ulama dari zaman ke zaman. Sering kali, dapat dirasakan saat menelaah kitab-kitab yang klasik, kita menemukan kesulitan dalam memahami ibarah sang penulis kitab. Biasanya ulama klasik menggunakan kata-kata yang ringkas dengan makna yang luas, sangat berbeda ketika kita membaca kitab kontemporer saat ini. Dan tentu, teks klasik bisa dibaca dan dipahami oleh pelajar adalah dengan mempelajari ilmu-ilmu dasar dalam syariah, seperti permisalan yang telah ditulis di awal bab. Juga kemudian, para ulama sudah menggarisbawahi ketika pemula ingin belajar ilmu-ilmu dasar tersebut haruslah dengan guru-guru yang sudah kompeten dalam bidang nya, sehingga bisa menjembatani tangan para pelajar kepada tangan para ulama.

Dalam kepenulisan, ulama sering kali menggunakan istilah-istilah khusus  di kitab mereka. Seperti halnya; istilah ilmu mantik, pada bab pembagian lafaz, kita tidak dapat memahami ilmu ushul fikih secara utuh sebelum mempelajari ilmu mantik ini. Begitupun dalam ilmu akidah, pada bab penjelasan tentang jauhar, kita tak dapat memhami ilmu tersebut secara komprehensif sebelum mengkaji terlebih dahulu ilmu makulat (Ilmu pengantar akidah dan filsafat).

Kemudian, DR. Usamah al-Azhary menambahkan bahwa setiap bidang memiliki catatan historis awal mula yang menemukan ilmu tersebut dan kemanfaatannya yang dirasakan oleh para pelajarnya. Persis apa yang telah kami singgung di awal pembahasan, yakni perihal al-Mabadi al-Asyrah. Maka, dari itu sangat penting bagi pemula sebelum masuk pada pembahasannya untuk mengenal 10 perkara tersebut.

2.   التوثيق

Setelah kita diajarkan bagaimana cara memahami teks ulama secara cakap, pada fase kedua ini, kita diajarkan bagaimana cara untuk menerima periwayatan hadits yang disampaikan dari periode awal hingga ke sang penulis dengan ketentuan yang berlaku. Pengenalan metode ini, kita terdidik untuk lebih selektif ketika ingin menerima suatu kabar berita. Ulama punya pundi-pundi syarat dalam ketetapan periwayatan hadits yang dikatakan sah menurut para pakar hadits. dalam hal ini, ilmu yang membahas tentang hal-hal tersebut adalah Ilmu mustalah hadits.

Jika di atas, mempelajari rantai periwayatan hadits, ada satu bidang ilmu yang mengkaji para perawinya, siapa saja yang dinyatakan terpecaya dalam meriwayatkan, kuat pada hafalannya, baik budi pekertinya, hal-hal seperti ini dipelajari dalam ilmu al-jarh wa ta’dil.

Pada tahap ini pun, pemula diajarkan tidak hanya sekedar ketentuan-ketentuan yang berlaku ketika ingin menerima sebuah hadits, melainkan dilatih juga bagaimana cara berfikir para ulama dalam menentukan hadits yang dinyatakan sah menurutnya, ataupun tidak sah. Dan benar-benar dapat melatih otak kita agar terbiasa dengan gaya pemikiran ulama terdahulu.

Dan juga sebagian ulama pun ada yang menuliskan nama-nama perawi hadits dari zaman ke zaman, yang disertai sanad periwayatannya dari penulis hingga nabi saw. ulama menuliskan hal-hal seperti ini dalam ilmu ar-rijal.

Dan masih banyak lagi, ilmu yang bervariatif membahas etika-etika dalam penilaian keabsahan sebuah kabar berita atau hadits. yang kemudian dinilai oleh DR. Usamah al-azhary seorang pemula harus melalui proses belajar-mengajar pada tahap yang kedua ini. Sebagai penguatan sekaligus pembiasaan mengikuti gaya berfikir para ulama dan juga dapat mengkritisi pendapat ulama yang dianggap tidak sesuai dengan pendapatnya.

3.   الحجّية والتحليل

Lanjut, daripada tahad ini masuk di dalamnya ilmu ushul fikih, ilmu kalam, ilmu qur’an, ilmu tafsir, ilmu mantik, ilmu makulat, ilmu jadl wa munazharah. Macam-macam ilmu tersebut mengajarkan seorang pelajar bagaimana cara mengkolaborasikan antara dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits dengan kaidah-kaidah yang diterapkan dalam ilmu tersebut. semisal yakni; Ilmu ushul fikih, ada kaidah mengatakan ‘’ al-amru al-muthlaq al-mujarad bil qarinah yufidu lil wujub’’ yang kemudian ini digunakan saat melihat ayat ataupun hadits yang terdapat sebuah perintah dan terbebas dari sebuah qarinah, maka hal tersebut dihukumi wajib, mesti dilakukan bagi seorang mukallaf.

Dan juga ada kaidah lain, yang ketika terdapat dalam teks al-qur’an maupun hadits yang kontradiktif makna, jika tidak bisa digabungkan antar keduanya, maka harus segera ditarjih atau ditentukan mana yang dianggap lebih benar. Seperti, hadits tentang ziarah kubur bagi seorang wanita.

Contoh lain dari kaidah lain, adalah pembagian macam-macam dilalah yang memberikan petunjuk untuk menghasilkan sebuah konklusi dalam menentukan kandungan makna teks agama tersebut.

4.     بناء الإنسانية

Pada fase akhir ini, kalau boleh dikatakan bahwa fase dimana seorang penuntut ilmu merasakan manisnya ilmu yang berasaskan oleh ilmu-ilmu dasar syariat. Ketika seorang pemula hendak mempelajari ilmu fikih, yang saat itu ia sudah lebih dahulu mempelajari ilmu ushul fikih, maka ia akan merasakan keterkaitan pembahasan dari satu ilmu ke yang lainnya.

Tahap ini, berisikan ilmu-ilmu terapan, seperti; ilmu fikih, ilmu akhlak, yang tentu ditujukan untuk membentuk jiwa yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan hadits yang sesuai dengan ilmu-ilmu dasar syariat sebagaimana yang sudah diterapkan oleh ulama kita terdahulu, yang memiliki metodologi yang benar dalam belajar-mengajar.

Pada intinya, DR. Usamah  menyimpulkan bahwa jika seorang pelajar hakiki yang bersungguh-sungguh dalam belajar dan mengikuti metodologi yang benar dan lebih dahulu dilalui oleh ulama, maka ia akan sampai kepada pemahaman yang utuh dan komprehensif, tidak berlandaskan hawa nafsu belaka, menegakan pemahaman yang moderat dan tidak paham radikalisme apalagi paham liberalisme.

Risalah singkat yang bisa kami buat, semoga bermanfaat.



[1] Lihat ‘kitab at-Turuq al-Manhajiyyah karangan syaikh Mustafha Ridha al-Azhary’
[2] Lihat ‘al-Hasyiah ala syarh al-Asymuni’ karangan Abu Irfan Muhammad bin Ali Soban
[3] Isi materi didapatkan saat beliau menyampaikan nya pada sebuah kajian “kharitatul al-Ulum”

Filosofis Rukun Haji

Dalam Islam kita mengenal Al-Qur’an sebagai landasan hukum pertama, sedangkan Hadits sebagai landasan hukum kedua. Pada setiap amal perbuatan yang berkaitan ibadah kita mesti merujuk kepada sumber hukum, yakni dua landasan hukum tersebut. Dan jikalau kita cermati dan pelajari bahwa tidaklah Allah memerintahkan suatu amalan dapat dikatakan di sana mengandung sebuah ibrah atau hikmah yang dapat diambil pelajaran oleh umat Islam. seperti halnya ; kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan, dapat kita katakan bahwa amalan tersebut bertujuan untuk memelihara kesehatan, melangsingkan tubuh sampai dengan protes dalam mogok makan atau dalam berkabung. Puasa pada intinya adalah menahan diri untuk tidak melakukan apa yang terlarang menurut keyakinan atau pandangan pelakunya. Dan juga berpuasa bertujuan untuk menjadi bagian orang-orang yang bertakwa.

Pada kali ini, kita ingin membahas sedikit-banyak hal-hal apa saja yang terkait dengan ketentuan haji, hikmah-hikmah dibalik rukun haji dan mengulas kembali sejarah asal mula kewajiban haji tersebut.

 Dalam soal haji yang perlu digarisbawahi adalah Allah mewajibkan ibadah haji bagi yang mampu melaksanakannya sekali seumur hidup. Sebagimana firman Allah SWT :

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ "

Artinya : “ dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki atau mengendarai setiap unta kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh. ” (QS. Al-Hajj {22}:27)

Ayat di atas menjadi bukti atas kewajiban ibadah haji bagi umat muslim, yang pada saat itu ayat tersebut diturunkan untuk nabi Ibrahim A.s.
Kemudian, kemampuan yang dimaksud di atas adalah:
               1.      Kemampuan material
               2.      Kemampuan fisik
         3.      Kemampuan pengetahuan ibadah haji dan kesiapan mental
Berdasarkan Ayat Al-Qur’an yang berbunyi:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ "

Artinya : “ dan kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah ke baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu dari seluruh alam). “

Selain dari ketiga jenis kemampuan itu, harus juga terjamin keamaan baik dalam perjalanan menuju dan kembali, ditempat yang dituju, serta saat pelaksanaan ibadah hingga selesai. Keamanan keluarga yang ditinggal pun harus menjadi pertimbangan jangan sampai karena ditinggal pergi mereka menderita. Sedangkan ulama menambahkan syarat lain bagi wanita, yaitu mahram yang mendampinginya dalam perjalanan tersebut. dalam madzhab syarat ini dinilai tidak ketat. Artinya perempuan masih bisa pergi haji dengan orang yang terpecaya yang mendampinginya dalam satu kelompok. Itu pun secara khusus bagi wanita-wanita yang dikhawatirkan akan mengalami kesulitan.

Filosofis Simbol-simbol Haji

            1.      Pakaian Ihram;

Pakaian memiliki aneka fungsi. Selain sebagai hiasan, juga untuk melindungi pemakai dari sengatan panas dan dingin serta menjadi pembeda antara seseorang dengan yang lain. perbedaan itu tidak hanya bersifat material saja, tetapi sering kali juga dalam profesinya: militer atau sipil, angkatan udara, polisi, dan angkatan laut dan lain-lain. penanggalan pakaian sehari-hari menjadi symbol bahwa yang datang kepada Allah harus menanggalkan pakaian pembedanya dengan manusia lain. semua sama di hadapan Allah.

            2.      Melakukan Thawwaf

Thawwaf berkeliling ka’bah kea rah yang bertentangan dengan jarum jam ini melambangkan peleburan diri manusia bersama semua makhluk dalam kepatuhan kepada Allah sw. memang segala sesuatu mengarah kepada-Nya.

وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلَالُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ "

Artinya : “ dan semua sujud kepada Allah baik yang di langit maupun yang di bumi, baik dengan kemauan sendiri maupun terpaksa bayang-bayang mereka, pada waktu pagi dan petang hari. “ (QS. Al-ra’d {13}:15)

Menurut penelitian Elektron, cairan-cairan yang berada sel makhluk, bulan beredar mengelilingi bumi. Matahari dan bulan beredar mengelilingi galaksi dengan cara yang sama, yakni seperti cara Rasul berthawaf.

           3.      Melakukan Sa’I

Secara harfiah artinya usaha bersungguh-sungguh atau berjalan dengan sedikit cepat. Tempat sa’I adalah tempat ibunda hajar, istri Nabi Ibrahim A.s pergi mencari air untuk anaknya Ismail yang sedang kehausan. Sebab dahulu Nabi Ibrahim meletakkan Ibu Hajar di lembah yang gersang, tidak ada air sedikit pun. Ia lari dari bukit shafa ke bukit marwah mencari air tersebut.
Sa’I dilakukan yang intinya adalah menggambarkan bahwa tugas manusia melakukan usaha semaksimal mungkin dalam hal apapun. Jika ini dilakukan, yakinlah bahwa Allah akan membantu bantuan serupa seperti yang dialami oleh Ibunda Hajar.

           4.       Wuquf di Arafah

Arafah arena perenungan. Di sanalah Jemaah haji merenung tentang Tuhan dan panggilan-Nya serta tujuan panggilan itu. Merenung adalah denyut kehidupan rohani. Sebagaimana hidup jasmani ditandai denyut jantung maka hidup ruhani pun demikian. Tanpa renungan kehidupan ruhani pun berhenti, dan makna hidup menjadi kabur. Bila itu terjadi hari-hari di pentas bumi ini akan menjadi sia-sia.

           5.      Menggunting Rambut Cukur (Tahallul)

Tahallul merupakan tahap akhir pelaksanaan ibadah haji. Ibadah ini dijadikan lambing keamanan dan kedamaian. Rambut, yang biasanya hitam itu diibaratkan sebagai dosa-dosa yang telah dilakukan oleh manusia. mencukurnya bagaikan menanggalkan dosa-dosa itu dari diri yang bersangkutan.

Kesimpulan:

Dari paparan singkat di atas, paling tidak ini adalah rangkaian ibadah yang mesti dilalui oleh Sang haji untuk menjadikan hajinya dapat diterima di sisi Allah swt. Dan pada momen dan waktu mendekati hari-hari haji, sudah semestinya seorang muslim membaca peristiwa-peristiwa zaman nabi terdahulu untuk agar dapat dipelajari dan diambil hikmah dari apa yang mereka lakukan. Tidak lain, tidak bukan itu semua adalah telah diperintakan oleh baginda Muhammad saw. pada umatnya untuk senantiasa menuntut ilmu yang khususnya terkait dengan setiap ibadah ritual yang akan, sedang ia lakukan. Wa Allahu a’lam




Tradisi Yasinan

Sudah diketahui bahwa surat yasin adalah salah surat yang ada di Qur’an. Jika seorang muslim membaca Al-Qur’an, maka ia akan mendapatkan ganjaran pahala, begitupun dengan surat yasin. Dan ini tentu sudah disepakati oleh para ulama. Lalu, kemudian yang jadi masalah adalah ketika seorang muslim mengkhususkan pembacaan surat yasin pada waktu dan momen tertentu saja ditujukan untuk menghadiahkan untuk orang yang sudah meninggal. Sebagaimana tradisi masyarakat yang sudah mendarah daging. Semisal, baca yasinan untuk 7 harian, 40 harian, atau dimalam jum’at dan lain sebagainya.

Sebelum sampai pada inti pembahasan, alangkah baiknya kita kupas terlebih dahulu, apa saja yang bisa diterima oleh orang yang sudah wafat? Apa saja yang bisa dimanfaatkan oleh orang yang sudah wafat? Kurang lebih ada 7 perkara, yaitu ;

            1.    Amal kita sendiri

Hadits Rasulullah SAW diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Ra. Dituliskan oleh Imam Muslim dalam kitabnya ;
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Artinya : "Apabila Manusia meninggal Dunia maka terputuslah amalnya kecuali karena tiga hal, 1. Shadaqah jariyah, 2. Ilmu yang bermanfaat, atau 3. Anak shaleh yang mendoakannya". (HR. Muslim)
Di sini, Nabi mengecualikan suatu manfaat yang masih terus dapat rasakan oleh mayit. Seperti contohnya, sedakah jariyah seperti wakaf masjid, wakat pesantren, dsb.
Dan yang jadi permasalahan, Apakah bisa amalan orang lain dihadiahkan oleh si mayit tersebut? (diakhir pembahasan)

            2.     Doa orang hidup untuk mayit

Doa dari orang yang masih hidup untuk mayit. Dalil kebolehannya adalah ;
      Surat Al-Mumin Ayat 7 :

 الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ

Artinya : (Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala. “

Catatan : Malaikat memintakan ampunan untuk orang-orang yang beriman, bukan minta ampunan karena malaikat terbebas dari dosa. Ini menjadi dalil Al-Qur’an bahwa meskipun orang sudah meninggal amal orang lain bisa bermanfaat bagi mayit tersebut.
-        Surat Al Hasyr: 10

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya : “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang“.” (QS. Al Hasyr: 10)
                Catatan : di sini, orang mukmin memintakan ampunan untuk orang-orang yang sudah mendahului mereka walaupun itu bukan dari anaknya. Berbeda dengan hadits pertama yang menyebutkan anak mendoakan orang tua nya tersebut.
           3.     Sedekah orang hidup untuk mayit (diniatkan)
 Fatwa Imam Ibnu Taimiyah, dalam fatawa nya :
" واما الصدقة عن الميت فإنه ينتفع بها باتفاق العلماء "  فقد وردت الأحاديث عن بذالك
Artinya : “ Adapun, bersedekah diniatkan untuk mayit itu dapat bermanfaat, disepekati oleh ulama.” Banyak hadits yang meriwayatkan hal tersebut
          4.     Haji orang hidup diniatkan untuk mayit (badal haji)
   Semasa hidup belum sempat untuk pergi haji berbagai macam alasan dan kondisi yang tidak memungkinkan melakukan kewajiban tersebut. Kemudian, anak, cucu, saudara kakak, paman, yang semuanya dari ahli waris ataupun orang lain yang mereka sudah pernah menunaikan haji sebelumnya, maka boleh membadalkan haji orang lain atau mayit tersebut.
ما روى ابن عباس رضي الله عنهما أن امرأة من خثعم أتت النبي صلى الله عليه و سلم فقالت : يا رسول الله إن فريضة الله في الحج على عباده أدركت أبي شيخا كبيرا لا يستطيع أن يستمسك على الراحلة أفأحج عنه ؟ قال : نعم قالت : أينفعه ذلك ؟ قال نعم كما لو كان على أبيك دين فقضيته نفعه
Artinya : “Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abbas ra. Bahwa ada seorang wanita dari Khath'am mendatangi Nabi Muhammad SAW. Lalu berkata : Wahai Rasulullah Fardlu haji yang diwajibkan Allah kepada seluruh umat islam telah sampai kepada ayahku sementara dia adalah orang tua yang sudah tidak mampu lagi bertahan di atas kendaraan, apakah saya haji untuknya? Beliau menjawab : iya, si perempuan balik bertanya : apakah itu akan bermanfaat untuknya? Dijawab lagi oleh Rasulullah, bila ayahmu memiliki hutang lalu kamu penuhi hutang tersebut, maka hal tersebut bermanfaat.”
Catatan : dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya haji badal hukumnya diperbolehkan dan bagi yang dibadalkan mendapatkan manfaat atau pahala dari orang yang membadalkan haji nya.
          5.   Membayarkan hutang si mayit
Pernah suatu ketika Nabi menanyakan kepada para sahabatnya apakah si mayit dia punya hutang? Bagi yang menghutangi apakah mau memaafkan nya atau tidak?
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”
Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda,
أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ
Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya. Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.
Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib ataukah tidak, di sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal. Sebagian lagi mengatakan tidak wajib.
      6.     Puasa untuk mayyit
Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ” Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris
7.     Menghadiahkan bacaan Al-Qur’an untuk mayit
Berbeda pendapat ulama. Imam Nawawi, yang masyhur dalam mazhab Syafi’I adalah sesungguhnya bacaan ayat Al-Qur’an untuk si mayit pahala nya tidak sampai kepada yang sudah meninggal. Akan tetapi, banyak ulama syafiiyah tidak berkata demikian, melainkan  berkata ;
 (Pahala nya sampai kepada si mayit) " يصل ثوابها "
Dalam mazhab Imam Ahmad, justru pahala bacaan ayat Al-Qur’an yang dihadiahkan untuk si mayit sampai kepadanya. (disebutkan syarh sahih muslim oleh Imam Muslim)
Ibnu Qudamah, di kitab Al-Mughni : Bahwa sampai bacaan Al-Qur’an ke mayit disandarkan dengan hadits-hadits sahih. Baik ibadah badaniyah atau Maliyah itu semua sampai pahala nya kepada si mayit.
Ibnu Qudamah berkata :
" في ثواب من قرأ سورة يس تخفيف الله بقرائته ولأنه إجماع المسلمين فإنه في كل عصر ومصر  يجتمعون ويقرؤون القران ويهدون الي موتاهم من غير نكير "
Artinya : “ ganjaran pahala bagi orang-orang yang membaca salah surat dalam Al Qur’an seperti Yasin, adalah untuk mendapatkan keringanan siksaan dengan membacanya, dan karena sudah sepakat ulama di setiap zaman dan tempat, mereka berkumpul dan menghadiahkan bacaan tersebut untuk si mayit, dan hal ini tidak diperselisihkan oleh ulama.”
Dalam Mazhab Hanafi :
" فقد صرح الحنفية بانتفاع الميت بإهداء ثواب بعض القران له "
Artinya : “ Telah dinyatakan secara jelas atas manfaat yang diterima oleh mayit yang dihadiahkan dari bacaan ayat Al Qur’an.” (disebutkan dalam kitab Aduru al Mukhtar fii rad Al Mukhtar)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam fatawa nya berkata :
" أن ثوابها يصل إليه "
Artinya : “ Pahala bacaan sampai kepadanya.”
Syarat agar sampai kepada si mayyit, ;
-         الأ تكون قراءة القارئ بعوض
(harus membacakan Al Qur’an untuknya tanpa imbalan, niat tulus karena Allah SWT dan menghadiahkan pahala bacaan kepada si mayit)
Syaikh Ibnu Taimiyah :
" وأما استئجار بنفس القراءة والإمتاع فلا يصح بذالك لأن لا يجوز إيقائها لان لا لاجل التقرب الي الله تعالي "
Artinya : “Transaksional diawal dengan mensyaratkan agar memberikan upah tidak diperbolehkan, karena hal itu tidak dapat dibenarkan karena niat bukan untuk Allah SWT.”
Kesimpulan :
permasalahan menghadiahkan bacaan Al-Qur’an atau dalam tradisi masyarakat ini disebut dengan 'yasinan' ulama berbeda pendapat. Mazhab Imam Abu Hanifah, Mazhab Imam Ahmad, ulama malikiyah, mayoritas Mazhab Imam Syafii membolehkan melakukan hal tersebut, yakni menghadiahkan pahala puasa, sedekah dan bacaan Al-Qur’an dapat diterima oleh mayit, arti lain sampai kepada si mayit, dengan syarat tidak dijadikan lahan bisnis, agar niat tetap ditujukan untuk Allah SWT bukan hal yang lain. Sedangkan sebagian ulama Malikiyah dan Sebagian ulama Syafiiyah tidak berpendapat demikian.
Adapun terkait pengkhususan waktu dan momen tertentu saat pelaksanaan baca yasinan tersebut bukanlah termasuk perkara bid'ah sebagaimana yang disampaikan oleh kelompok paham radikalisme. Sebagaimana penetapan ulama suatu amalan yang senantiasa dilakukan oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan prinsip dan pilar-pilar dalam syariat tidaklah hal tersebut dilarang. Begitupun statemen bahwa setiap perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi semua nya bid'ah itu tidak dapat dibenarkan, sebab banyak amalan-amalan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi, tapi dilakukan oleh para sahabat dan generasi selanjutnya, semisal pengkodifikasian Al-Qur'an, bacaan doa i'tidal, shalat tarawih berjamaah, pergi haji menggunakan pesawat, dsb.Wallahu a’lam
(ditulis oleh Muhammad Ar’rafii, Mahasiswa Al-Azhar, Kairo – Mesir)







Sabtu, 26 Januari 2019

Khalifah di bumi

Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Makna khalifah yang diartikan dalam bahasa Arab sebagai pemimpin. Disebutkan di dalam Al Qur’an Surat Al-Baqarah, Ayat 30 yang berbunyi ;

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً""

Artinya : “dan (ingatlah) ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”

Lalu, kemudian para malaikat Allah menanyakan ketentuan tersebut dengan mengatakan “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?.” Lalu, Allah berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu (malaikat) ketahui.”

Dari percakapan tersebut antara makhluk dengan sang khalik, bukan berarti para malaikat tidak puas sehingga menentang dengan ketentuan Allah tersebut, melainkan para malaikat menanyakan hal tersebut ingin mengetahui hikmah yang terdapat dari sisi penciptaan manusia yang dijadikan sebagai khalifah di bumi. Begitupun karena sebab Allah SWT mensifati para malaikat-Nya Makhluk yang terbebas dari dosa dan juga mereka tidak menanyakan sesuatu kepada-Nya kecuali Allah SWT telah menizinkan nya.

Dari perkataan Allah yang disebutkan “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu (malaikat) ketahui.” Sebagaian mufassir mengartikan bahwa Allah akan menciptakan di dunia para Rasul Allah dan Nabi-Nya sebagai pembawa risalah untuk kemaslahatan umat manusia, yang mana hal ini tidak diketahui oleh para malaikat. (disebutkan dalam kitab Tafsir ibn Katsir(.

Layaknya seorang pemimpin yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam menyampaikan risalah sebuah kabar gembira dari Allah SWT bagi orang-orang yang taat pada-Nya akan mendapatkan pahala yang berlimpah dan mendapatkan tempat yang terbaik di sisi-Nya. Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan bagi umat Islam khususnya, tidak ada yang lebih mulia dan pantas yang dijadikan panutan dalam segala hal apapun kecuai beliau, Rasul SAW. tapi dengan demikan, Rasulullah diutus oleh Allah tidak hanya untuk Islam saja, melaikan seluruh umat manusia, berbeda dengan Rasul Allah yang lain, mereka diutus hanya diperuntukkan bagi umat nya saja. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat Al-Anbiya ayat 107 ;

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ""

Artinya : “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam.”

Dari perkataan “seluruh alam” memberikan kesan bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad tidak hanya sebatas umat Islam saja, tapi untuk seluruh umat manusia.

Di antara sebab Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di dunia adalah untuk menyampaikan sebuah risalah disampaikan oleh para Rasul-Nya yang mengandung di dalamnya kemaslahatan manusia pada umumnya, yang kemudian hal ini yang membedakan antara syariat Allah dengan qanun (aturan) manusia, yang mana ia hanya bersifat khusus untuk menjaga kestabilan dinamika sosial yang akan terjadi jika qanun-qanun tersebut dilakukan dan dampak negatif jika tidak dilakukan.

Waktu perjalanan para nabi dan rasul Allah dalam menyampaikan risalah tersebut kepada umat nya tidaklah panjang, memiliki jenjang waktu tertentu dan setiap Rasul berbeda-beda, seperti contoh Nabi Muhammad SAW mempunyai jenjang waktu sebanyak 23 tahun, lalu kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya dan para ulama setelahnya, yang mana mereka diberi julukan sebagai pewaris para nabi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW ;

"وإنَّ العلماءَ ورثةُ الأنبياءِ، وإنَّ الأنبياءَ، لم يُوَرِّثوا دينارًا، ولا درهمًا، إنما وَرّثوا العلمَ، فمن أخذه أخذ بحظٍّ وافر"

Artinya : “Ulama adalah pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham (kekayaan), sebaliknya mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya (ilmu) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak.” (riwayat Abu Dawud)

Cukuplah hadits ini menjadi dalil bahwa para ulama memiliki nilai yang tinggi, bahkan dijadikan sebagai pewaris nabi yang melanjutkan estafet pembawa risalah tersebut. Dan juga kemuliaan terhadap sebuah ilmu, yang mana ia seorang akan menjadi amat mulia sebab karena ia telah memilkinya. Begitupun yang akan membedakan tempat kedudukan di akhirat antara orang yang berilmu dengan orang awam.

Makna arti ‘ulama’ berbeda dengan seorang ‘da’i’, seorang ulama adalah orang yang ahli atau pakar dalam bidang tertentu. misalnya, Imam Syafi’i adalah seorang ulama pakar di bidang Ushul fikih dan fikih, kemudian Imam Bukhari adalah seorang ulama pakar dalam bidang Hadits, dan lain sebagainya. Imam Syafi’i tidak dikatakan seorang ulama pada bidang teknologi, misalnya.

Nah, begitupun dalam hal ini, ‘ulama’ di sini diartikan secara istilah adalah mereka yang ahli dalam bidang agama, bukan yang lain. berbeda dengan kata ‘da’i’ yang diartikan sebagai seseorang yang mengajak kepada suatu hal tertentu, dan tidak harus pakar di dalam bidang tersebut. Mungkin, bisa dirangkas dengan ibarah ‘Setiap ulama adalah da’i dan tidak semua da’i adalah ulama’.

Lalu, kemudian dalam mewujudkan hikmah Allah yang tersirat di dalam Al-Qur’an sebaiknya seseorang harus mengetahui posisi nya berada dimana, ulama? da’i? atau orang awam?. Sehingga ia bisa menjadi seorang khalifah yang hidup bermasyarat sesuai dengan tuntunan ajaran Islam, dan tidak menjadi bagian dari orang-orang yang merusak dan menumpahkan darah di muka bumi, sebagaimana yang dikatakan oleh para malaikat. Wallahu A’lam


Rabu, 23 Januari 2019

Urgensitas Pengorbanan dalam Islam


Pengorbanan diartikan secara bahasa adalah sebuah proses seseorang mengabdikan diri kepada sesuatu. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa menegakkan perkara baik dan meninggalkan sesuatu yang buruk. Di antara perkara-perkara baik itu adalah memberikan pengorbanan kepada orang lain untuk sesuatu yang baik dan benar menurut Islam.
sebagaimana firman Allah SWT :

(وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى) (المائدة: 2)

Artinya : “Tolong-menolonglah kalian dalam mengerjakan kebaikan dan ketakwaan.“

Berangkat dari Ayat tersebut, umat Islam diperintahkan untuk senantiasa menegakkan sikap gotong-royong di dalam setiap perkara yang baik serta kepada sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Sebuah pengorbanan tidak diartikan sebagai sesuatu hanya berupa materiil saja, melainkan dimaknai sebagai sesuatu yang sangat luar biasa dan mencakup di dalamnya berupa materiil, moril, hal-hal bersifat dedikatif bahkan berkorban untuk orang lain meskipun hatinya merasa tersakiti. Seorang muslim sejati mengartikan bahwa sikap berkorban untuk orang lain kepada sesuatu yang baik adalah sebuah ladang amal kebaikan yang akan bisa dirasakan hasilnya ketika hari akhir tiba.

berkaitan erat dengan momentum hari raya Idul Adha dan sejarah mencatat bahwa terdapat sebuah pengorbanan besar pada peristiwa tersebut, yang mana kita diajarkan untuk belajar mengikhlaskan dan mengorbankan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT meskipun itu berat untuk dilakukan. contohnya yaitu ketika Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Ibrahim AS untuk memenggal leher anaknya, Nabi Ismail AS. Secara tabiat, tidak pernah ada seorang Ayah ingin menyakiti anaknya sendiri, apalagi sampai membunuhnya.

Peristiwa Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk memenggal leher anaknya adalah sebuah pelajaran penting dan berharga untuk kita pahami bahwa segala sesuatu yang terjadi sudah menjadi ketetapan Allah SWT dan kita harus selalu berusaha mengikhlaskan serta merelakan sesuatu yang kita cintai, yang kita senangi dan yang kita miliki semata-mata untuk Allah SWT.   

Akan tetapi, ketika Nabi Ibrahim ingin memenggal leher Nabi Ismail, Allah SWT menggantikan leher Nabi Ismail dengan leher seekor domba. Yang mana, hal tersebut tidak pernah terpikirkan bahwa akan terjadi seperti itu. Namun, percayalah! Bahwa ketetapan Allah itu ada dan selalu bersikap adil terhadap umatnya. Allah yang pasti lebih tahu daripada umatnya, maka lakukan yang terbaik di dalam hidupmu dan jangan lupa untuk senantiasa melatunkan kalimat syukur kepada Allah SWT.

Peristiwa di atas adalah sebuah pengorbanan seorang ayah yang merelakan anaknya untuk Allah SWT. pengorbanan itu beragam dan sangat banyak sekali bahkan ketika menjadi seorang pelajar pun kita tertuntut untuk selalu belajar mengorbankan sesuatu untuk masa depan yang lebih cerah.
Seorang pelajar yang merantau jauh dari kampung halaman dan meninggalkan keluarga tercinta itu juga merupakan hasil pengorbanan yang dilakukan semata-mata untuk hari yang lebih baik sehingga ia bisa memberikan manfaat untuk masyarakat nanti. Penuntut ilmu sangat berkaitan dengan kedisiplinan dalam mengatur waktu, seakan-akan ia dikejar oleh waktu yang ia miliki. Sebagaimana Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Nabi SAW bersabda:

(نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس: الصحة والفراغ) (2)

Artinya : “dua kenikmatan yang sering terlupakan oleh kebanyakan manusia adalah nikmat sehat dan waktu luang”

 Jika penuntut ilmu tidak disiplin dalam mengatur waktunya untuk melakukan kewajiban-kewajiban sebagai seorang pelajar, maka suatu ketika ia akan menyesali sesuatu yang sudah ditinggalkan, kewajiban-kewajiban yang terlupakan dan kemudian bertanya kepada diri sendiri ; “kenapa tidak sejak dahulu saja, ketika menjadi pelajar. Saya memaksimalkan waktu untuk belajar”?

Sebuah pernyataan penyesalan seorang pelajar yang tidak memanfaatkan waktunya ketika masih menjadi seorang pelajar. Bersikap disiplin dalam mengatur waktu sangat diprioritaskan, terutama bagi seorang pelajar. bersikap dewasa dalam mengutamakan sesuatu yang lebih penting daripada sesuatu yang hanya bersifat penting, bersikap idealis dalam menentukkan arah tujuan, bersikap realis dalam melakukan suatu kebutuhan. Semua ini juga merupakan hasil sebuah pengorbanan yang dilakukan oleh seorang pelajar.
            Setiap tingkatan seseorang memiliki nilai pengorbanan yang berbeda satu dengan yang lain. misalnya saja; seorang suami atau istri (bagi yang sudah), Seorang kepala rumah tangga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya bahkan sampai rela tidak tidur sehari semalam, bersabar mendidik anaknya yang terkadang sulit untuk dinasihati dan juga harus menjaga kestabilan kondisi rumah tangganya. Sebagaimana firman Allah SWT :

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (النساء: 4)

Artinya : “Dan berikanlah maskawain (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.“

Pada dasarnya, seorang laki-laki yang baik adalah ia senantiasa mengorbankan dirinya untuk perempuan. berkorban yang bersifat materiil, moril bahkan sampai kepada perasaan hati. Rasanya harus dipahami dengan baik bagi setiap laki-laki bahwa perempuan diciptakan sebagai makhluk yang lemah, tidak berdaya, selalu membutuhkan sandaran ketika kesedihan melanda.

            Ini adalah sebuah contoh pengorbanan yang dilakukan seorang suami untuk kebaikan keluarganya dan meraih keridhoan Allah SWT karena sudah menjalankan kewajiban bagi seorang suami yang telah diperintahkan oleh Islam.
Keberadaan Islam adalah sebagai penerang kehidupan manusia. Islam adalah sebuah agama yang mengajarkan kebaikan, menegakkan persatuan, berlaku adil atas segala sesuatu, memerintahkan sikap tolong-menolong antar sesama umat Islam dan seluruh umat manusia pada umumnya. Firman Allah SWT :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (الأنبياء :107)

Artinya : “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

Islam menebarkan kebaikan tidak hanya kepada umat manusia saja, melainkan Islam datang sebagai rahmat untuk seluruh makhluk hidup yang ada. Islam datang menjaga kestabilan kondisi masyarakat di dalam kemajemukannya. Islam datang membawa risalah besar untuk umat manusia agar selamat hidup dunia dan akhirat, –semoga kita bisa selalu berkumpul dengan orang-orang baik-.

Urgensitas Pengorbanan menjadi sesuatu yang bernilai dan dapat dirasakan hasilnya oleh setiap muslim, ketika ia memahami hakikat risalah kebaikan yang dibawa oleh Islam untuk umat manusia pada umumnya dan juga mengerti bahwa setiap makhluk hidup itu pasti membutuhkan kepada yang lain, maka segerakanlah dekati orang di sekitarmu yang sedang membutuhkan bantuanmu, lakukan dengan ikhlas sepenuh hati meskipun itu sesuatu yang sepele.

  


           





Islamic Ethics

Kata ‘Ethic’ dalam bahasa Inggris didefinisikan sebagai etika, akhlak, atau budi pekerti. Tidak sedikit kata bahasa Indonesia merupakan ...