Kamis, 14 Mei 2020

Islamic Ethics


Kata ‘Ethic’ dalam bahasa Inggris didefinisikan sebagai etika, akhlak, atau budi pekerti. Tidak sedikit kata bahasa Indonesia merupakan hasil terjemahan dari kata-kata berbahasa Inggris. Seperti halnya yang satu ini, sering kali kita menggunakan istilah ‘etika’ ketika sedang menggambarkan moral seseorang. Prakteknya istilah Etika atau Akhlak merupakan dua kata yang mengandung kepada perkara yang baik atau tidak baik. Etika bisa dipadankan dengan etika terpuji atau etika yang buruk. Sementara dalam pembahasan ini, ‘Islamic’ dinisbahkan pada ‘Ethics’ mempunyai arti sangat luas. Cakupannya bisa berupa sejarah Islam, perkembangan penyebarannya di seantero dunia hingga konteks muslim kontemporer yang hidup di zaman globalisasi seperti saat ini.

Islam merupakan agama terakhir yang hidup bersampingan dengan agama Yahudi dan Nasrani. Islam dimulai penyeberannya di bangsa Arab. masyarakat Arab kala itu merupakan masyarakat yang tidak bisa membaca dan menulis. Bangsa Arab bukanlah seperti Bangsa Yunani yang diberikan keistimewaan sebagai pusat ilmu filsafat, bangsa Arab bukanlah bukanlah bagaikan bangsa China yang banyak memproduksi berbagai macam komoditas, bangsa Arab bukanlah seperti bangsa Romawi yang sejak dahulu dikenal dengan bangsa yang kaya akan perundang-undangan. bangsa Arab dikenal oleh halayak umum dengan bangsa yang memiliki keberagaman kabilah. Kabilah yang terpecah-pecah bahkan sering kali terjadi konflik besar disebabkan dengan perkara sepele. Akan tetapi keadaan ini berubah tatkala Nabi Muhammad saw., diutus untuk membereskan akhlak umatnya yang tidak hanya dibatasi atas umat Islam saja melainkan bagi seluruh alam sekalian.

Sejak 1400 tahun silam, Islam dimulai menyebarkan ajarannya. Dahulu hanya berpusat di negara Arab saja, akan tetapi sekarang telah tersebar di berbagai penjuru dunia. penganut Islam mendominasi di negara-negara bagian Asia, Afrika (bagian China barat dan utara). Sementara di bagian Negara Amerika, Eropa mulai mengenal Islam dan orang-orang berbondong memeluk Islam sekitar tahun akhir abad ke-16 M. Islam adalah termasuk agama yang panganutnya mendominasi keberadaannya sekitar 1,6 milliar pengikut di dunia.

“Foundational Sources of Islamic Belief”. Prinsip beragama ialah mempunyai buku pedoman agar hidup penuh makna dan berarti bagi yang lain. kitab tersebut direpresentasikan sebagai buku perundang-undangan yakni berupa aturan-aturan ilahi yang mencakup perintah dan larangan. Kitab Al-Qur’an lah yang dijadikan pedoman hidup bagi umat Islam. jika dikatakan kitab Injil merupakan kitab pedoman bagi masyarakat nasrani, tapi sayangnya sejarah mencatat banyak sekali kata-kata di kitab suci tersebut disalahtafsirkan bahkan dihapus oleh para pemukanya. Beda halnya dengan Al-Qur’an yang telah dinyatakan teks agama yang autentik keberadaannya setelah melewati fase pembuktian otentitas periwayatannya ketika pasca perang dunia kedua dan lebih kerennya proses pembuktian tersebut dilakukan di kota Berlin, jerman., yang mayoritas tidak beragama Islam. dan kitab pedoman kedua dalam Islam adalah hadits Nabi saw. karena kedudukan hadits Nabi ini sering kali dijadikan sebagai penerjemah atau penafsiran dari Al-Qur’an. Dan keduanya merupakan kitab pedoman hidup bagi umat muslim.

“Islam as a way of life”. Islam agama sempurna yang dijadikan sebagai jalan kehidupan untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Islam mengajarkan kasih sayang antar sesama dan sekemanusiaan, -tidak ujug-ujug ketika beda agama beda pula dalam bersikap-. Bahkan ketika Rasulullah melihat ada jenazah yang sedang dibawa dengan sikap hormatnya beliau berdiri memberi penghormatan kepadanya, lantas para sahabat protes, “ Wahai Rasulullah, jenazah tersebut adalah berasal dari golongan Yahudi.” Dijawab oleh Nabi, “bukankah dia juga manusia sama seperti manusia lainnya?”. Begitu indahnya akhlak Nabi saw. yang mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa bersikap baik kepada siapapun sekalipun berbeda agama dengan kita.

Islam mengajarkan rasa solidaritas terhadap sesama. Bukankah dalam Islam kita diwajibkan untuk membayar zakat dimana sesungguhnya di sebagian harta kita terdapat  hak orang lain. tapi sayangnya, masyarakat Indonesia kehilangan kesadaran akan pentingnya membayar zakat dan kewajiban baginya. Bahkan menurut Badan Zakat Nasional (BAZNAS) dalam penelitiannya mengatakan jika seandainya masyarakat muslim mambayar kewajiban tersebut, maka akan terkumpul uang sebesar ratusan triliunan, yang itu dengan optimisnya dapat mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Yang jelas prinsipnya Islam merupakan agama yang sangat memerhatikan solidaritas terhadap sesama, meskipun realitanya masih terdapat kekurangan sana-sini disebabkan bukan karena agamanya melainkan pengikutnya.

Sejak 14 abad silam, Rasullah telah menyampaikan prinsip-prinsip dalam beragama, baik itu yang berkaitan dengan ubudiyyah (penghambaan) atau muamalah (interaksi) terhadap sesama. Tata cara dalam beribadah diajarkan, mulai dari adab dalam bersuci, tata cara masuk ke kamar mandi hingga bersujud kepada-Nya. Tapi tidak hanya itu, Nabi saw. pun mengajarkan kepada kita bagaimana berinteraksi dengan orang lain, mulai dari cara berdagang, jual-beli, sewa menyewa, pegadaian dan seterusnya dan itu semuanya telah tuntas disampaikan oleh Nabi saw. dan ulama yang dilabeli sebagai pewaris para nabi melanjutkan penyebarannya bahkan sampai mengembangkan prinsip-prinsip tersebut di berbagai lini kehidupan. Seperti halnya, pengembangan prinsip dalam sektor Ekonomi, setelah dinyatakan terbukti sistem kapitalis yang jadikan sistem ekonomi dunia ini saat ini tidak berhasil menjawab tantangan perekonomian, maka datang ekonomi Islam yang berbasis sistem ketuhanan untuk menjawab tantangan global saat ini. Dan telah terbukti banyak menghasilkan perubahan dalam mekanisme perekonomian dunia, bahkan sistem ekonomi Islam (Syariah) dijadikan bidang studi di belahan Negara eropa yang notabene beragama non-Islam.

Yang jelas, Islam dikatakan sebagai rahmat bagi semuanya, ini benar adanya. Tinggal kita sebagai Agent of change (pemain) harus mengetahui ajaran-ajaran Islam secara komprehensif, lalu menyebarkannya dengan cara yang makruf  dan berlaku objektif dalam menilai apapun. Salam damai buat kita semuanya. Sekian, Wallahu a’lam.

Kairo, 14 Mei 2020 / 21 Ramadhan 1441 AH


Rabu, 13 Mei 2020

Maqashid Asy-Syariah

Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa Allah memerintahkan hamba-Nya untuk melakukan suatu perkara ibadah? Apa hikmah dibalik perintah tersebut? lalu, Apa tujuan yang sesungguhnya atas perintah atau larangan yang ditujukan kepada hamba-Nya? Ini semua akan dijawab pada pembahasan ‘Maqashid Asy-Syariah’ atau tujuan kehadiran syariat di pentas bumi ini.

Kata مقصد didefinisikan sebagai suatu hal yang berkaitan dengan niat atau keingingan yang hendak dilakukan, baik direpresentasikan dengan lisan atau perbuatan. Dalam Islam, menghadirkan niat dalam setiap perbuatan yang dilakukan merupakan suatu perkara yang sangat bernilai. Dengan niat kita dapat mendapatkan kebaikan padahal belum melakukannya, begitupun sebaliknya perkara buruk belumlah tercatat jika hanya sekedar niat dalam hati
.
Lalu, kata شريعة diartikan menurut istilah agama adalah kumpulan aturan-aturan yang Allah swt. tetapkan disampaikan kepada para utusan-Nya, rasul-rasul-Nya. Dari sini, kata شريعة memiliki makna yang sangat global, sebab dengan definisi ini tidak hanya ditujukkan untuk syariat Islam, melainkan juga masuk di dalamnya syariat Yahudi, syariat Nasrani, ajaran kitab Zabur, dsb. Kendati demikian, pada tulisan singkat ini akan membahas perkara-perkara yang berkaitan dengan syariat Islam, aturan perintah dan larangan yang disampaikan oleh Nabi saw. sementara menurut Imam Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat mengatakan, “Bahwa sesungguhnya seluruh agama samawi (Islam, Nasrani, Yahudi) sepakat tujuan kehadiran syariat merupakan atau upaya untuk menjaga lima komponen penting bagi kehidupan, yakni agama, jiwa, nasl (keturunan), harta dan akal”.

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa ‘Maqashid Asy-Syariah’ merupakan tujuan kehadiran syariat di tengah umat Islam yang dengannya mereka mengetahui hakikat sebuah perintah atau larangan, begitupun hikmah yang terkandung di dalamnya. Seperti misalnya, ketika Allah memerintahkan hamba-Nya agar segera membayarkan zakat dari sebagian harta untuk orang yang membutuhkan. Dalam konteks ini, dengan jelas Allah menyebutkan tujuan dari perintah tersebut, yakni dengan melakukanya, maka harta akan dapat disucikan dan jiwa serta hati kita diajarkan agar selalu berbagi kepada orang yang berhak atas sebagian harta kita. karena tidak ada yang menjamin harta yang kita peroleh kesemuanya terbebas dari suatu perbuatan yang kotor, maka demikian dalam Islam kita dianjurkan agar mengeluarkan zakat.

Maqashid Asy-Syariah dibagi menjadi tiga pembagian, yaitu; Tujuan Umum, Tujuan Khusus, Tujuan Parsial. Lima komponen yang harus dijaga eksistensinya merupakan bagian dari tujuan yang bersifat umum, sebagaimana disebutkan di atas bahwa tidak hanya Islam menjaga hal tersebut melainkan seluruh agama samawi menerapkan hal yang sama.

Lalu, ketika aturan-aturan yang bersifat khusus pada satu aspek tertentu, seperti aspek muamalah (ekonomi), aspek keluarga (harta warisan) atau hukum kriminalitas. Kesemuannya ada pada pembahasan tujuan yang sifatnya khusus. Sebab, ia akan sangat berkaitan dengan bab-bab tertentu saja. Jika tujuan khusus membahas perkara suatu bab besar yang terdapat berbagai permasalahan yang bersifat kompleksitas, maka pada pembagian tujuan yang terakhir merupakan tujuan yang bersifat parsial, hanya berkaitan dengan suatu permasalahan tertentu, seperti halnya pada saat melakukan akad pernikahan secara mekanisme yang wajib dilakukan bagi calon suami adalah memberikan mahar kepada calon istri. Lantas, apa yang sesungguhnya tujuan dari hal tersebut? bisa kita katakan, itu merupakan dari upaya agar dapat menciptakan rumah tangga yang tentram, damai, mawaddah dan penuh kasih sayang. Di samping itu bahwa pemberian mahar merupkan sebuah kewajiban yang diperintahkan agama.

Sebuah keharusan seorang ulama mengetahui ‘maqashid syariah’ karenanya ia diibaratkan ruhnya amal perbuatan. Artinya, tanpa mengetahui maqashid maka ia berfikih tanpa ruh. Sebagaimana disampaikan Imam Asy-Syatibi. Sudah maklum, dalam memahami teks syariat membutuhkan dua hal, pertama harus memiliki kompetensi yang baik terhadap literatur ilmu bahasa Arab, seperti nahwu, sharf, balaghah, dsb. Dan kedua, harus memahami tujuan kehadiran syariat ini. Ditambah dengan perkataan Imam Ibn Asyur, “sesungguhnya yang menanggalkan pemahaman maqashid ini akan membuat fikih menjadi kaku, dan sering kali menyimpang dengan tujuan sebenarnya.”

Sebenarnya umat Islam tidak hanya diwajibkan mengetahui hakikat tujuan hadirnya agama yang sempurna ini. Akan tetapi, kita juga diharuskan untuk mengetahui pengetahuan dasar terkait bukti keimanan kita kepada Allah swt. meskipun yang dituntut tidak sampai mendatangkan dalil-dalil yang rinci, melainkan hanya sekedar dalil yang bersifat global.

Prakteknya, beberapa kasus kejadian pada saat Nabi saw. memerintahkan umatnya untuk melakukan suatu hal, lalu ia menyertakan apa tujuan perintah tersebut. seperti;

1.       Saat Rasulullah memerintahkan jika diantara kalian terbagun dari tidurnya hendaknya mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam bejana air. Kenapa demikian? Lalu Rasulullah meneruskan karena kita tidak tahu di saat tidur tangan kita berada dimana saja. Khawatir tangan kita sempat bertempat yang kotor, sehingga saat dicelupkan tangan kita di bejana air tersebut akan membuatkan kotor atau barangkali menjadi najis.

2.       Ketika Rasulullah menyuruh umatnya agar tidak memanjangkan bacaan shalat tatkala sedang mengimami jamaah. Karena ia tahu, bahwa pada saat dilakukan shalat jamaah yang hadir tidak hanya para sahabat yang kuat jasmaninya, sehat rohaninya, akan tetapi hadir juga bersama mereka orang sakit, orang yang tua renta, orang yang sedang memilik hajat, dsb. Maka, sungguh amat luar biasa Nabi saw. mengetahui keadaan para sahabtnya dan sangat memerhatikan kondisi sekitarnya, maka ia memerintahkan hal tersebut agar tidak memberatkan kepada mereka yang dalam keadaan lemah. Berbeda halnya kalau shalat sendirian bahkan beliau mengatakan dengan tegas jika shalat sendirian maka panjangkanlah bacaan shalat sesuka hatimu.

3.       Di beberapa waktu, tatkala Rasulullah mengatakan bahwa ketika ada dua muslim dalam berusaha untuk membunuhnya satu sama lain dengan ditangannya terdapat pedang, dengan tegas ia mengatakan si pembunuh dan yang terbunuh mereka berada di api neraka. Kaget sahabat mendengar kabar demikian dan bertanya-tanya, kok bisa yaa rasulullah? Ia benar akan kabar tersebut dan beliau menjawabnya karena yang terbunuh memiliki niat yang sama, yaitu berupaya untuk membunuh lawannya tersebut. dengan upaya niat tersebut ia dimasukkan ke api neraka.

Perkara wajib yang dilakukan oleh seorang mukmin juga banyak mengandung tujuannya akan tercapai keinginan yang diinginkan oleh syariat. Sebutlah, shalat lima waktu merupakan rutinitas yang sering kita lakukan setiap harinya. Mungkin sering kita bertanya-tanya apa sesungguhnya yang diinginkan dari amalan tersebut? ternyata Al-Qur’an telah menjawab dengan rinci bahwa dengan amalan tersebut kita terhindar dari perbuatan-perbuatan yang keji dan juga dengan menghayati hakikat shalat kita dengan tenang dapat berdzikir (mengingat) sang maha pencipta dengan segala kerendahan kita sebagai makhluk-Nya. Demikian Al-Qur’an menyebutkan hikmah atas perintah tersebut.
Dan masih banyak keragaman yang Allah selipkan hikmah atas setiap perintahnya dan larangnya. Cukup sekian. Wallahu A’lam..     

Jumat, 24 April 2020

Bulan Ramadhan melatih diri untuk memetik buah kesabaran

Masyarakat Islam mengenal bulan ramadhan adalah sebagai bulan puasa, menahan diri tidak makan dan tidak minum ketika terbit fajar hingga terbenam matahari. Kewajiban yang mesti dilakukan bagi seorang muslim selama satu bulan penuh. Puasa atau dikenal dalam literatur Islam dengan Siyam/Saum diartikan secara bahasa ‘menahan’, sedangkan secara terminologi adalah menahan dari apa yang dapat membatalkan puasa seperti makan, minum, berhubungan badan ketika terbit fajar sampai terbenam matahari. Puasa ramadhan memiliki karakter khusus yang membedakan dengan puasa lainnya, yakni niat pada malam hari sebelum terbit fajar. Karena pada dasarnya merupakan suatu syarat keabsahan melakukan niat/tekad dalam hati untuk menunaikan ibadah puasa di esok hari. Berbeda halnya dengan puasa sunnah pada umumnya dibolehkan untuk mengakhirkan niat bahkan setelah terbit fajar hingga sebelum masuknya waktu shalat zhuhur.

Nabi Muhammad saw. diutus sesungguhnya adalah untuk menyempurnakan akhlak seluruh umat manusia. Iya, seluruhnya. Karena beliau diutus untuk seluruh alam, tidak hanya kepada umat tertentu saja. Bulan ramadhan merupakan momentum, kesempatan, waktu meditasi untuk meningkatkan kualitas akhlak kita. tentu yang dimaksud akhlak di sini adalah akhlak terpuji. Di antaranya adalah kesabaran. Jauh sekitar 14 abad lalu, Nabi telah mengibaratkan bulan ramadhan adalah bulan kesabaran. Bayangkan! suatu pekerjaan, perbuatan yang biasanya sering kita lakukakan dan hukum agamanya adalah boleh, akan tetapi tatkala di bulan ramadhan hal tersebut tidak diperkenankan untuk dilakukan. Bukankah, pekerjaan makan-minum, berhubungan badan antar suami-istri merupakan sesuatu yang diperbolehkan? Berbeda hukumnya jika dilakukan di bulan ini ketika waktu berpuasa -terbit fajar hingga terbenam matahari- akan mendapatkan hukuman kafarat, baik pilihannya membebaskan budak, puasa dua bulan berturut-turut atau memberikan makan fakir miskin.

Dalam konteks ini ‘menahan’ tidak hanya dimaknai sekedar tidak minum, tidak makan saja melainkan lebih dari itu. Menahan juga bisa diartikan sebagai menahan diri untuk tidak membicarakan perkara buruk orang lain, menahan diri untuk tidak marah, menahan diri untuk bersabar, menahan diri untuk tidak hasad atau dengki kepada orang lain, menahan diri dari kecerobohan, menahan diri untuk berlaku zalim, yang intinya adalah merubah diri untuk tidak melakukan kebiasaan buruk hingga terbentuk menjadi perangai yang baik sebagaimana tujuan rasulullah saw. diutus di muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak umatnya. Ditambah lagi, jika semuanya dilakukan akan mendapatkan ganjaran pahala yang bernilai besar yakni diampuni dosanya baik yang dulu hingga masa datang, tapi dengan catatan melakukan perintah puasa ini dengan keimanan, keikhlasan, kemantapan hati, kesadaran diri akan perbuatan buruk yang telah ia lakukan. Insya allah, dengan izin-Nya semua kesalahan, kekhilafan yang pernah dilakukannya akan diampuni, bahkan diganti dengan kebaikan.

Bukankah di zaman Rasullah pernah ada seorang sahabat bertanya kepada Nabi saw. tentang apakah dengan mencukupkan melakukan ibadah yang wajib, menunaikan rukun Islam -termasuk ibadah saum-  ini sudah dijamin masuk ke surga-Nya?! Dijawab oleh Nabi saw. “Na’am” atau “Iya, ia akan masuk ke surga-Nya.” Cukuplah dengan hadis ini menjadi bukti besarnya kasih sayang Nabi saw kepada umatnya sampai di akhir hayatnya beliau menahan perihnya saat menghadapi sakaratul maut dengan tujuan agar bisa digantikan dengan memberikan syafaat (pertolongan) untuk umatnya di hari akhirat nanti. Sesungguhnya dibalik perintah agama tersebut mengandung berbagi hikmah yang kita akan ketahui jika menyadarinya, meresapinya dalam hati dan fikiran kita. termasuk dari ibadah saum ini adalah untuk membentuk sifat terpuji agar tertanam dalam hati sanubari seorang muslim hingga digolongkan oleh Allah swt. menjadi hamba-hamba yang bertakwa.

-semoga kita bisa menjadi golongan mereka-. Aamiin yaa rabbal a’lamin. Wassalam.

Kairo, 24 April 2020

Selasa, 14 April 2020

Sejarah dan Pengantar Ilmu Ushul Fikih


 
foto; Naskah Kuno Kitab Waraqat


Sejarah Lahirnya

Sudah diketahui bahwa ilmu ushul fikih yang kita pelajari hari ini merupakan suatu ilmu yang belum diketahui di masa awal Islam ditegakkan. Di periode sahabat dan begitu juga di awal masa tabi’in belum merasakan akan kebutuhan terhadap kaidah-kaidah ushul fikih, sebab diantaranya adalah karena mereka mempunyai kemampuan (malakah) bahasa Arab yang memumpuni, yang mana atas dasar ini mereka dapat menemukan hukum syar’I dengan landasan pemahaman bahasa Arab yang baik. Seperti halnya sahabat telah memahami bahwa yang namanya Fa’il dalam ilmu nahwu itu dihukumi marfu’ dan mereka juga mengetahui bahwa ketika ada lafaz ما di sumber hukum Islam yakni Al-Qur’an dan Al-Hadis itu mengandung arti umum serta ditujukan bagi yang tak berakal secara hakikatnya.
para sahabat dan pembesar tabi’in tidak hanya mempunyai pemahaman kaidah kebahasaan secara komprehensif, melainkan juga memiliki pengetahuan tentang kaidah lainnya, seperti halnya kesepakatan antar ulama atau Ijmak merupakan sebuah sumber hukum dalam Islam, dan juga Qiyas dijadikan sebagai hujjah bagi mereka. Adapun sunnah yang dijadikan sumber hukum kedua mereka tidak perlu membahas seputar kaidah-kaidah, ketentuan penerimaan hadits, serta pembagiannya. Kenapa tidak perlu? yah, karena pada hakikatnya para sahabat dan Rasulullah, sang penyampai wahyu tidaklah ada sekat diantara keduanya, dengan mudahnya para sahabat dapat mendapatkan hadits dari Rasulullah dan mereka amalkan di kehidupan sehari-hari.

Berbeda keadaanya setelah zaman sahabat dan para generasi awal tabi’in, yang kemudian tersebar luasnya ajaran nilai-nilai agama, bangsa Arab melakukan ekspansi ke berbagai penjuru Negara kala itu. Yang menyebabkan atas peristiwa tersebut melahirkan banyak para pendatang atau orang-orang yang bukan dari bangsa Arab masuk ke kawasan muslimin, sampai tercampur aduk bahasa asing dengan bahasa Arab. Apalagi zaman rasulullah dengan zaman pasca tabi’in terbilang jauh, maka dibutuhkan saat itu periwayatan hadis antar sesama. Dengan mendorong para ulama membuat kaidah-kaidah yang membahas tentang ketentuan dan syarat-syarat hadis sahih sehingga dapat membedakannya dengan hadis daif. Yang dibahas oleh ulama pada ilmu  mustalah hadis. Dan juga dikatakan ulama pembahasan seperti ini dapat ditemukan di ilmu ushul fikih.

Siapa yang pertama kali menulis kaidah-kaidah ilmu ushul fikih? Diantara perbedaan pendapat ulama, kita dapat melihat bahwa pendapat yang paling sahih adalah yang berkata Imam Syafi’I merupakan sosok ulama yang pertama kali mengkodifikasikan ilmu tersebut. –semoga Allah meridai nya- ia menuliskannya dalam kitab yang terkenal, yakni Ar-risalah. Kemudian, para generasi setelahnya banyak menulis dan melebarluaskan pembahasan pada ilmu yang agung ini. Sampai, ditemukan perbedaan metodologi dalam membangun kaidah-kaidah yang para ulama tuliskan di kitab-kitab mereka. Seperti, thariqah mutakallimin, thariqah fuqaha, thariqah muta’akhirin. Yang semua mazhab tersebut dapat kita baca pemikirannya pada era ini.

Metodologi Ulama

1. Thariqah Mutakallim

Mazhab ini diterapkan oleh mayoritas ulama, seperti ulama malikiyah, syafi’iyah, hanabilah dan ulama lainnya selain mazhab hanafiyah. Teori yang mereka terapkan adalah dengan cara membuat identifikasi masalah ushuliyyah dan kemudian dibuat kaidah-kaidah baku yang diterapkan pada permasalahan furuiyat. Tanpa melihat kepada pendapat ulama dalam mazhabnya. Ini yang membedakan dengan mazhab fukaha. (lihat penjelasan tambahan di thariqah selanjutnya)

2. Thariqah Fukaha

Berbeda dengan mazhab mutakallim, disebabkan para imam dalam mazhab hanafi tidak meninggalkan kaidah-kaidah yang kemudian dapat diterapkan oleh para murid-muridnya. Maka, para generasi setelahnya mereka yang meniliti dan mengidentifikasi pemikiran imam mazhab yang mereka jadikan sebuah kaidah baku yang diterapkan dalam bermadzhab. Kata lain; jika di mazhab mutakalim mencari kaidah ushuliyyah terlebih dahulu, lalu diaplikasikan di mazhab mereka. Berbeda di mazhab fukaha mereka melihat dahulu pemikiran di mazhab mereka, baru kemudian di buat kaidah baku yang dapat diterapkan pada zaman setelahnya.

3. Thariqah Muta’akhirin

Mazhab ini bisa terbilang baru, yang merupakan penggabungan dari dua mazhab tersebut. tergabung diberbagai sisi, yang kemudian ini memiliki dampak akan kekayaan khazanah literatur fikih dalam Islam. akan tetapi, berkata Maulana syaikh Husam (guru penulis) bagi seorang mubtadi baiknya ketika ingin belajar imu ushul fikih tidak memulainya dari mazhab ini. Alasan yang beliau sampaikan adalah dengan metodologi ini dapat membuat kerancuan seorang pelajar, yang realitanya dia belum memiliki pemahaman dasar ilmu ushul fikih yang kuat.
Kitab-kitab penting yang dijadikan sebagai referensi mazhab mutakalim;

- al-Umad, karangan al-Qadhi Abdul Jabbar Al-hamdani, w 410 H
- al-Mu’tamad, karangan Abu hasan Al-Bashri, w 436 H
- al-Burhan, karangan Imam Haramain, w 478 H
- al-Mustasfha, karangan Imam Al-Ghazali, w 505 H
Kitab-kitab penting yang dijadikan sebagai rujukan mazhab fukaha;
- ushul Al-Jasos, karangan Imam jasos, w 370 H
- takwimul Adilah, karangan Ad-dabusi, w 430 H
- ushul Al-Bazdawi, karangan Al Bazdawi, w 473 H
- ushul As-sharkhasi, karangan As-sharkhasi, w 490 H
kitab rujukan mazhab muta’akhirin
- Jamul Jawami’, karangan Tajuddin As-subki, beliau pembesar ulama di mazhab syafi’iyah, w

Definisi dan Pembahasan

dalam literatur ilmu pengetahuan, cara membedakan satu ilmu dengan yang lainnya itu bisa terlihat dari definis ilmu tersebut dan pokok pembahasannya. Dalam hal ini, ulama membahas terkait definisi ilmu ushul fikih adalah sebagai berikut;
Imam Baidowi, w 685 H,

"أصول الفقه معرفة دلائل الفقه إجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد"
Artinya : “mengetahui kaidah-kaidah ushuliyah yang bersifat ijmaliyah, cara mengambil istinbat hukum dan juga mengetahui syarat-syarat yang berhak melakukan istinbat tersebut.”

Pokok pembahasan ushul fikih mengenai tentang kumpulan dalil-daili yang bersifat umum yang tersusun diantaranya dari lafaz yang mengandung amru (perintah) atau nahyu (larangan), juga menyinggung permasalahan lafaz-lafaz yang kontradiktif secara zohir, lalu akan dipecahkan masalah tersebut dengan mendatangkan metodologi ulama dalam menyelesaikannya, seperti ketika ada kandungan makna nash Al-Qur’an atau hadis itu saling berlawanan, jika bisa digabungkan maka digabungkan. apabila tidak bisa, maka cara menyelesaikannya adalah dengan mentarjih satu dari yang lain.

Adapun pada tujuan seseorang mempelajari Ilmu ushul fikih merupakan sebuah cara seorang mujtahid dapat menemukan hukum-hukum syariat melalui pemahaman dalil-dalil yang bersifat ijamli.
Contohnya seperti; dalil kewajiban sholat yang disebutkan " أقيموا الصلاة "
Perintah pada ayat tersebut Hanya ingin menegaskan bahwa “dirikanlah shalat wahai manusia sekalian” dan tidak pada perintah tersebut mengatakan “shalat bagi kalian semua adalah sebuah kewajiban wahai manusia..” maka, pada tahap, dimana konklusi kewajiban tersebut didapatkan adalah dari kaidah ulama ushul fikih yang mereka tetapkan pada pembahasan mereka, yang berbunyi ;

                            " كل أمر مطلق بغير قرينة يفيد للوجوب "
Artinya : “Setiap kalimat perintah yang tidak mengandung qarinah (makna yang memalingkan kewajiban) maka, bermakna sebuah kewajiban.”

Kemudian bisa dianalogikan setiap ayat yang berisi sebuah perintah dalam Al-Qur’an dan Al-hadis dimaknai sebagai sebuah kewajiban bagi umat muslimin. Kebalikan dari ketika ada lafaz larangan itu artikan sebuah pengharaman bagi umat Islam untuk dilakukan. Dan masih ada kaidah-kaidah lain yang dijadikan pembahasan di ilmu ushul fikih, bisa dibuka di kitab-kitab khusus yang membahas hal tersebut, seperti kitab waraqat, karangan Imam Haramain beserta hasyiyah nafahat nya.

Pada sistematika pembahasan ushul fikih di kitab-kitab babon itu kita akan menemukan topik pembahasan memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. seperti di kitab waraqat, para syurrah mengatakan tentang kitab ini yakni, mukhtasar terbaik yang mesti dijadikan pedoman bagi para mubtadi. Sebagai berikut penulis mencoba membuat sistematika pembahasannya;

Pertama ; Imam Al juwayni (Al-haramain), di awal bab membahas definisi dari kalimat ushul fikih, baik secara bahasa maupun istilah menurut ulama ushul fikih. Lalu, pengarang membahas seputar pembagian hukum syariat taklifi dan wadhi, diantara tujuannya adalah untuk mengetahui macam-macam hukum syariat dan di akhir akan bisa menentukan hukum suatu perbuatan manusia setelah melewati fase istibant hukum dengan dalili-dalil ushuliyyah yang bersifat ijmaliyah.

Kedua ; di sini, ia membahas tentang mukkadimah lugawiyah yang berisi tentang pengertian lafaz hakikat dan lafaz majazi beserta contohnya dari setiap perbedaan dalam penggunaanya.

Ketiga ; pada tahap ini, sang penulis masuk ke tujuan pembahasan pada ilmu ini. Ia membahas penjelasan tentang awamir dan nawahi. Dibahas di dalamnya tentang definisi, macam-macam lafaz perintah dan larangan. Diantara tujuannya adalah untuk bisa mengetahui lafaz-lafaz yang berisi perintah, yang kemudian nantinya bisa menghukumi sesuatu itu bersifat kewajiban atau keharaman.

Ke-empat ; setelahnya, penulis masuk pada Am’ wa khos yakni, lafaz-lafaz yang bermakna umum dan khusus di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Karena di antara faktor perbedaan ulama dalam masalah fikih adalah  disebabkan dengan lafaz-lafaz yang disebutkan dalam Al-Qur’an itu bersifat umum dan memiliki makna lebih dari satu. Bahkan, perbedaan tersebut telah ada sejak pada zaman sahabat.

Ke-lima ; pembahasan lafaz-lafaz yang bersifat mujmal dan mubayyan, singkatnya lafaz-lazfaz mujmal ini sesungguhnya masih membutuhkan lafaz yang menjelaskan tujuan hakiki nya itu apa. Karena pada dasarnya lafaz masih memliki cela bagi pembaca dalam memahami teks tersebut. seperti perintah shalat dalam Al-Qur’an itu tidak menyebutkan bagaimana cara shalat, berapa rakaat dan kapan shalat itu dilaksanakan. Hal-hal ini dijelaskan secara detail dalam Al-hadis nabi saw.

Ke-enam ; lanjutnya, membahas tentang Al-af’al, yakni perbuatan nabi saw. di sana kita akan membahas pembagian perbuatan nabi saw. menjadi dua macam, yakni perbuatan yang mengandung sebuah perintah (syariat), kedua perbuatan seperti amal manusia lainnya (tidak mengandung perintah atau syariat) seperti, makan dan minum nabi saw.

Ke-tujuh ; bab naskh, yakni terjadi penghapusan hukum dan bacaan dalam Al-Quran. Pembahasan penting sekali diketahui oleh seorang mujtahid agar tidak mengistinbat ayat yang sebenarnya telah dihapus hukumnya pada pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan kepada nya.

Ke-delapan ; bab Ta’arud Al-adilah, di sini tempat pengamalan istinbat hukum. Karena ada beberapa teks Al-Qur’an maupun Al-hadis secara zohir itu saling bertentangan (kontradiktif makna). Hal ini, membutuhkan pemahaman bagaimana cara menyelasaikan permasalahan tersebut. apakah digabungkan keduanya? Atau ditarjih satu dari yang lain? atau sama-sama diamalkan di satu sisi dan di sisi lain? pada bab ini, akan dibahas permasalahan tersebut.

Ke-sembilan ; bab Al-ijmak, dalam fikih Islam ada 4 sumber yang disepakati oleh mayoritas ulama, di antaranya adalah ijmak (kesepakatan ulama fukaha) bukan orang awam. Dibahas pada bab ini, yakni berupa definisi ijmak, syarat-syarat terjadinya ijmak dan argumentasi ulama yang menetapkan ijmak merupakan sumber fikih Islam dan generasi setelahnya harus mengikutinya, tidak boleh mengingkarinya. Barang siapa mengingkari maka, sudah keluar dari barisan muslimin atau dihukumi kafir.

Ke-sepuluh ; bab Al-Akhbar, di masa Imam syafi’I terjadi perselisihan antar ulama terkait periwayatan hadis, macam-macam hadis nabis saw. dan  syarat-syarat hadis yang diamalkan dan apa landasan yang menjadikan hadis sebagai hujjah di Islam.

Ke-sebelas ; bab Al-Qiyas, ini pun sama, sumber fikih Islam yang disepakati ulama atas pengamalannya dalam literatur fikih. Jika kita melihat sejarah pada zaman rasulullah saw. ternyata telah pernah diamalkan oleh nabi saw dalam beberapa kasus yang mendesaknya harus menjawab pertanyaan dari sahabat. Pada bab ini, akan dijelaskan pengertian qiyas, macam-macam qiyas serta argumentasi ulama yang menjadikan qiyas sebagai hujjah dalam literatur fikih Islam.

Ke-dua belas ; bab Al-mufti dan Al-mustafti, pada tahap ini kita akan mempelajari siapa itu seorang mutahid. Dibahas mulai dari definisinya, syarat-syaratnya, yang berhak melakukan istinbat hukum. Begitu pun, syarat mustafti. Luar biasanya ulama?!, khususnya sang penulis sangat detail membahas ilmu ini, dibuktikan dengan ia tidak hanya membahas pengertian mujtahid dan ketentuan-ketentuannya, tapi ia juga membahas pengertian muqallid (sebenarnya bukan pembahasannya). Kenapa dibahas? Karena memiliki kedekatan, supaya tidak salah dalam membedakannya, maka harus dibahas juga pengertian muqallid. Dan juga agar bagi seorang muqallid tidak melakukan istinbat hukum dari Al-Qur’an dan Al-hadis, sebab memang pada dasarnya mereka belum memiliki kapasitas keilmuan yang cukup dan otoritas dalam melakukan hal-hal tersebut layaknya para mutjahid.

Ringkasan pembahasan dalam ilmu ushul fikih yang penting diketahui bagi seorang pelajar khususnya marhalah mubtadi. Semoga bermanfaat bagi yang membacanya. Wallahu’ a’la wa a’lam..

Sabtu, 23 November 2019, Kairo-Mesir


Islamic Ethics

Kata ‘Ethic’ dalam bahasa Inggris didefinisikan sebagai etika, akhlak, atau budi pekerti. Tidak sedikit kata bahasa Indonesia merupakan ...