foto; Naskah Kuno Kitab Waraqat
Sejarah Lahirnya
Sudah diketahui bahwa ilmu ushul fikih yang kita pelajari hari ini merupakan suatu ilmu yang belum diketahui di masa awal Islam ditegakkan. Di periode sahabat dan begitu juga di awal masa tabi’in belum merasakan akan kebutuhan terhadap kaidah-kaidah ushul fikih, sebab diantaranya adalah karena mereka mempunyai kemampuan (malakah) bahasa Arab yang memumpuni, yang mana atas dasar ini mereka dapat menemukan hukum syar’I dengan landasan pemahaman bahasa Arab yang baik. Seperti halnya sahabat telah memahami bahwa yang namanya Fa’il dalam ilmu nahwu itu dihukumi marfu’ dan mereka juga mengetahui bahwa ketika ada lafaz ما di sumber hukum Islam yakni Al-Qur’an dan Al-Hadis itu mengandung arti umum serta ditujukan bagi yang tak berakal secara hakikatnya.
para sahabat dan pembesar tabi’in tidak hanya mempunyai pemahaman kaidah kebahasaan secara komprehensif, melainkan juga memiliki pengetahuan tentang kaidah lainnya, seperti halnya kesepakatan antar ulama atau Ijmak merupakan sebuah sumber hukum dalam Islam, dan juga Qiyas dijadikan sebagai hujjah bagi mereka. Adapun sunnah yang dijadikan sumber hukum kedua mereka tidak perlu membahas seputar kaidah-kaidah, ketentuan penerimaan hadits, serta pembagiannya. Kenapa tidak perlu? yah, karena pada hakikatnya para sahabat dan Rasulullah, sang penyampai wahyu tidaklah ada sekat diantara keduanya, dengan mudahnya para sahabat dapat mendapatkan hadits dari Rasulullah dan mereka amalkan di kehidupan sehari-hari.
Berbeda keadaanya setelah zaman sahabat dan para generasi awal tabi’in, yang kemudian tersebar luasnya ajaran nilai-nilai agama, bangsa Arab melakukan ekspansi ke berbagai penjuru Negara kala itu. Yang menyebabkan atas peristiwa tersebut melahirkan banyak para pendatang atau orang-orang yang bukan dari bangsa Arab masuk ke kawasan muslimin, sampai tercampur aduk bahasa asing dengan bahasa Arab. Apalagi zaman rasulullah dengan zaman pasca tabi’in terbilang jauh, maka dibutuhkan saat itu periwayatan hadis antar sesama. Dengan mendorong para ulama membuat kaidah-kaidah yang membahas tentang ketentuan dan syarat-syarat hadis sahih sehingga dapat membedakannya dengan hadis daif. Yang dibahas oleh ulama pada ilmu mustalah hadis. Dan juga dikatakan ulama pembahasan seperti ini dapat ditemukan di ilmu ushul fikih.
Siapa yang pertama kali menulis kaidah-kaidah ilmu ushul fikih? Diantara perbedaan pendapat ulama, kita dapat melihat bahwa pendapat yang paling sahih adalah yang berkata Imam Syafi’I merupakan sosok ulama yang pertama kali mengkodifikasikan ilmu tersebut. –semoga Allah meridai nya- ia menuliskannya dalam kitab yang terkenal, yakni Ar-risalah. Kemudian, para generasi setelahnya banyak menulis dan melebarluaskan pembahasan pada ilmu yang agung ini. Sampai, ditemukan perbedaan metodologi dalam membangun kaidah-kaidah yang para ulama tuliskan di kitab-kitab mereka. Seperti, thariqah mutakallimin, thariqah fuqaha, thariqah muta’akhirin. Yang semua mazhab tersebut dapat kita baca pemikirannya pada era ini.
Metodologi Ulama
1.
Thariqah Mutakallim
Mazhab ini diterapkan oleh mayoritas ulama, seperti ulama malikiyah, syafi’iyah, hanabilah dan ulama lainnya selain mazhab hanafiyah. Teori yang mereka terapkan adalah dengan cara membuat identifikasi masalah ushuliyyah dan kemudian dibuat kaidah-kaidah baku yang diterapkan pada permasalahan furuiyat. Tanpa melihat kepada pendapat ulama dalam mazhabnya. Ini yang membedakan dengan mazhab fukaha. (lihat penjelasan tambahan di thariqah selanjutnya)
2.
Thariqah Fukaha
Berbeda dengan mazhab mutakallim, disebabkan para imam dalam mazhab hanafi tidak meninggalkan kaidah-kaidah yang kemudian dapat diterapkan oleh para murid-muridnya. Maka, para generasi setelahnya mereka yang meniliti dan mengidentifikasi pemikiran imam mazhab yang mereka jadikan sebuah kaidah baku yang diterapkan dalam bermadzhab. Kata lain; jika di mazhab mutakalim mencari kaidah ushuliyyah terlebih dahulu, lalu diaplikasikan di mazhab mereka. Berbeda di mazhab fukaha mereka melihat dahulu pemikiran di mazhab mereka, baru kemudian di buat kaidah baku yang dapat diterapkan pada zaman setelahnya.
3.
Thariqah Muta’akhirin
Mazhab ini bisa terbilang baru, yang merupakan penggabungan dari dua mazhab tersebut. tergabung diberbagai sisi, yang kemudian ini memiliki dampak akan kekayaan khazanah literatur fikih dalam Islam. akan tetapi, berkata Maulana syaikh Husam (guru penulis) bagi seorang mubtadi baiknya ketika ingin belajar imu ushul fikih tidak memulainya dari mazhab ini. Alasan yang beliau sampaikan adalah dengan metodologi ini dapat membuat kerancuan seorang pelajar, yang realitanya dia belum memiliki pemahaman dasar ilmu ushul fikih yang kuat.
Kitab-kitab penting yang dijadikan sebagai referensi mazhab mutakalim;
-
al-Umad, karangan al-Qadhi Abdul Jabbar Al-hamdani, w 410 H
-
al-Mu’tamad, karangan Abu hasan Al-Bashri, w 436 H
-
al-Burhan, karangan Imam Haramain, w 478 H
-
al-Mustasfha, karangan Imam Al-Ghazali, w 505 H
Kitab-kitab penting yang dijadikan sebagai rujukan mazhab fukaha;
-
ushul Al-Jasos, karangan Imam jasos, w 370 H
-
takwimul Adilah, karangan Ad-dabusi, w 430 H
-
ushul Al-Bazdawi, karangan Al Bazdawi, w 473 H
-
ushul As-sharkhasi, karangan As-sharkhasi, w 490 H
kitab rujukan mazhab muta’akhirin
-
Jamul Jawami’, karangan Tajuddin As-subki, beliau pembesar ulama di mazhab syafi’iyah, w
Definisi dan Pembahasan
dalam literatur ilmu pengetahuan, cara membedakan satu ilmu dengan yang lainnya itu bisa terlihat dari definis ilmu tersebut dan pokok pembahasannya. Dalam hal ini, ulama membahas terkait definisi ilmu ushul fikih adalah sebagai berikut;
Imam Baidowi, w 685 H,
"أصول الفقه معرفة دلائل الفقه إجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد"
Artinya :
“mengetahui kaidah-kaidah ushuliyah yang bersifat ijmaliyah, cara mengambil istinbat hukum dan juga mengetahui syarat-syarat yang berhak melakukan istinbat tersebut.”
Pokok pembahasan ushul fikih mengenai tentang kumpulan dalil-daili yang bersifat umum yang tersusun diantaranya dari lafaz yang mengandung amru (perintah) atau nahyu (larangan), juga menyinggung permasalahan lafaz-lafaz yang kontradiktif secara zohir, lalu akan dipecahkan masalah tersebut dengan mendatangkan metodologi ulama dalam menyelesaikannya, seperti ketika ada kandungan makna nash Al-Qur’an atau hadis itu saling berlawanan, jika bisa digabungkan maka digabungkan. apabila tidak bisa, maka cara menyelesaikannya adalah dengan mentarjih satu dari yang lain.
Adapun pada tujuan seseorang mempelajari Ilmu ushul fikih merupakan sebuah cara seorang mujtahid dapat menemukan hukum-hukum syariat melalui pemahaman dalil-dalil yang bersifat ijamli.
Contohnya seperti; dalil kewajiban sholat yang disebutkan " أقيموا الصلاة "
Perintah pada ayat tersebut Hanya ingin menegaskan bahwa “dirikanlah shalat wahai manusia sekalian” dan tidak pada perintah tersebut mengatakan “shalat bagi kalian semua adalah sebuah kewajiban wahai manusia..” maka, pada tahap, dimana konklusi kewajiban tersebut didapatkan adalah dari kaidah ulama ushul fikih yang mereka tetapkan pada pembahasan mereka, yang berbunyi ;
" كل أمر مطلق بغير قرينة يفيد للوجوب "
Artinya :
“Setiap kalimat perintah yang tidak mengandung qarinah (makna yang memalingkan kewajiban) maka, bermakna sebuah kewajiban.”
Kemudian bisa dianalogikan setiap ayat yang berisi sebuah perintah dalam Al-Qur’an dan Al-hadis dimaknai sebagai sebuah kewajiban bagi umat muslimin. Kebalikan dari ketika ada lafaz larangan itu artikan sebuah pengharaman bagi umat Islam untuk dilakukan. Dan masih ada kaidah-kaidah lain yang dijadikan pembahasan di ilmu ushul fikih, bisa dibuka di kitab-kitab khusus yang membahas hal tersebut, seperti kitab waraqat, karangan Imam Haramain beserta hasyiyah nafahat nya.
Pada sistematika pembahasan ushul fikih di kitab-kitab babon itu kita akan menemukan topik pembahasan memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. seperti di kitab waraqat, para syurrah mengatakan tentang kitab ini yakni, mukhtasar terbaik yang mesti dijadikan pedoman bagi para mubtadi. Sebagai berikut penulis mencoba membuat sistematika pembahasannya;
Pertama ; Imam Al juwayni (Al-haramain), di awal bab membahas definisi dari kalimat ushul fikih, baik secara bahasa maupun istilah menurut ulama ushul fikih. Lalu, pengarang membahas seputar pembagian hukum syariat taklifi dan wadhi, diantara tujuannya adalah untuk mengetahui macam-macam hukum syariat dan di akhir akan bisa menentukan hukum suatu perbuatan manusia setelah melewati fase istibant hukum dengan dalili-dalil ushuliyyah yang bersifat ijmaliyah.
Kedua ; di sini, ia membahas tentang mukkadimah lugawiyah yang berisi tentang pengertian lafaz hakikat dan lafaz majazi beserta contohnya dari setiap perbedaan dalam penggunaanya.
Ketiga ; pada tahap ini, sang penulis masuk ke tujuan pembahasan pada ilmu ini. Ia membahas penjelasan tentang awamir dan nawahi. Dibahas di dalamnya tentang definisi, macam-macam lafaz perintah dan larangan. Diantara tujuannya adalah untuk bisa mengetahui lafaz-lafaz yang berisi perintah, yang kemudian nantinya bisa menghukumi sesuatu itu bersifat kewajiban atau keharaman.
Ke-empat ; setelahnya, penulis masuk pada Am’ wa khos yakni, lafaz-lafaz yang bermakna umum dan khusus di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Karena di antara faktor perbedaan ulama dalam masalah fikih adalah disebabkan dengan lafaz-lafaz yang disebutkan dalam Al-Qur’an itu bersifat umum dan memiliki makna lebih dari satu. Bahkan, perbedaan tersebut telah ada sejak pada zaman sahabat.
Ke-lima ; pembahasan lafaz-lafaz yang bersifat mujmal dan mubayyan, singkatnya lafaz-lazfaz mujmal ini sesungguhnya masih membutuhkan lafaz yang menjelaskan tujuan hakiki nya itu apa. Karena pada dasarnya lafaz masih memliki cela bagi pembaca dalam memahami teks tersebut. seperti perintah shalat dalam Al-Qur’an itu tidak menyebutkan bagaimana cara shalat, berapa rakaat dan kapan shalat itu dilaksanakan. Hal-hal ini dijelaskan secara detail dalam Al-hadis nabi saw.
Ke-enam ; lanjutnya, membahas tentang Al-af’al, yakni perbuatan nabi saw. di sana kita akan membahas pembagian perbuatan nabi saw. menjadi dua macam, yakni perbuatan yang mengandung sebuah perintah (syariat), kedua perbuatan seperti amal manusia lainnya (tidak mengandung perintah atau syariat) seperti, makan dan minum nabi saw.
Ke-tujuh ; bab naskh, yakni terjadi penghapusan hukum dan bacaan dalam Al-Quran. Pembahasan penting sekali diketahui oleh seorang mujtahid agar tidak mengistinbat ayat yang sebenarnya telah dihapus hukumnya pada pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan kepada nya.
Ke-delapan ; bab Ta’arud Al-adilah, di sini tempat pengamalan istinbat hukum. Karena ada beberapa teks Al-Qur’an maupun Al-hadis secara zohir itu saling bertentangan (kontradiktif makna). Hal ini, membutuhkan pemahaman bagaimana cara menyelasaikan permasalahan tersebut. apakah digabungkan keduanya? Atau ditarjih satu dari yang lain? atau sama-sama diamalkan di satu sisi dan di sisi lain? pada bab ini, akan dibahas permasalahan tersebut.
Ke-sembilan ; bab Al-ijmak, dalam fikih Islam ada 4 sumber yang disepakati oleh mayoritas ulama, di antaranya adalah ijmak (kesepakatan ulama fukaha) bukan orang awam. Dibahas pada bab ini, yakni berupa definisi ijmak, syarat-syarat terjadinya ijmak dan argumentasi ulama yang menetapkan ijmak merupakan sumber fikih Islam dan generasi setelahnya harus mengikutinya, tidak boleh mengingkarinya. Barang siapa mengingkari maka, sudah keluar dari barisan muslimin atau dihukumi kafir.
Ke-sepuluh ; bab Al-Akhbar, di masa Imam syafi’I terjadi perselisihan antar ulama terkait periwayatan hadis, macam-macam hadis nabis saw. dan syarat-syarat hadis yang diamalkan dan apa landasan yang menjadikan hadis sebagai hujjah di Islam.
Ke-sebelas ; bab Al-Qiyas, ini pun sama, sumber fikih Islam yang disepakati ulama atas pengamalannya dalam literatur fikih. Jika kita melihat sejarah pada zaman rasulullah saw. ternyata telah pernah diamalkan oleh nabi saw dalam beberapa kasus yang mendesaknya harus menjawab pertanyaan dari sahabat. Pada bab ini, akan dijelaskan pengertian qiyas, macam-macam qiyas serta argumentasi ulama yang menjadikan qiyas sebagai hujjah dalam literatur fikih Islam.
Ke-dua belas ; bab Al-mufti dan Al-mustafti, pada tahap ini kita akan mempelajari siapa itu seorang mutahid. Dibahas mulai dari definisinya, syarat-syaratnya, yang berhak melakukan istinbat hukum. Begitu pun, syarat mustafti. Luar biasanya ulama?!, khususnya sang penulis sangat detail membahas ilmu ini, dibuktikan dengan ia tidak hanya membahas pengertian mujtahid dan ketentuan-ketentuannya, tapi ia juga membahas pengertian muqallid (sebenarnya bukan pembahasannya). Kenapa dibahas? Karena memiliki kedekatan, supaya tidak salah dalam membedakannya, maka harus dibahas juga pengertian muqallid. Dan juga agar bagi seorang muqallid tidak melakukan istinbat hukum dari Al-Qur’an dan Al-hadis, sebab memang pada dasarnya mereka belum memiliki kapasitas keilmuan yang cukup dan otoritas dalam melakukan hal-hal tersebut layaknya para mutjahid.
Ringkasan pembahasan dalam ilmu ushul fikih yang penting diketahui bagi seorang pelajar khususnya marhalah mubtadi. Semoga bermanfaat bagi yang membacanya. Wallahu’ a’la wa a’lam..
Sabtu, 23 November 2019, Kairo-Mesir