Selasa, 04 September 2018

Fiqih Kontemporer (Thaharah)

Hukum bersuci bagi orang yang memiliki kuku palsu dan alis mata palsu?

Sudah diketahui, bahwa membasuh kedua tangan hingga sikut dan membasuh wajah adalah menjadi syarat wajib nya wudhu, tanpa membasuh kedua maka, tidak sah wudhu-nya. Dewasa ini, ada beberapa sekolompok manusia yang membuat kuku palsu dan alis mata palsu. Hal ini, tidak terlepas dari dua keadaan. Yang pertama adalah ; pembuatan alis mata palsu dan kuku palsu disebabkan karena terjadi darurat, memiliki tujuan yang tidak dibuat-dibuat. Seperti contohnya : wajah orang tersebut mengalami kebakaran sehingga merubah bentuk wajah yang tidak sewajarnya atau bisa dianalogikan kepada keadaan yang semisalnya. yang terpenting merubah bentuk wajah yang mengakibatkan kecacatan. Maka, keadaan seperti ini diperbolehkan oleh syariat. Lalu, kemudian, yang kedua : keadaan wajah seorang yang sengaja merubah bentuk ciptaan tuhan, tidak lain tujuan nya adalah untuk berhias, maka perubahan ciptaan Allah itu tidak diperbolehkan oleh syariat yang telah disepakati oleh para ulama fuqaha, karena perbuatan tersebut terdapat pengubahan ciptaan tuhan. Lalu, bagaimana cara mereka bersuci?

Jika seorang yang memiliki keadaan seperti ini yang disebabkan karena darurat, dan kemudian, pembuatan alis mata palsu dan kuku palsu tersebut dibuat dengan bahan-bahan yang sifatnya permanen tidak dapat lagi untuk dilepas, maka dengan keadaan seperti ini orang tersebut diperbolehkan bersuci tanpa melepaskan kuku palsu atau alis mata tersebut. Dan begitu juga, sah digunakan untuk mandi besar. Tapi apabila, pembuatan alis mata tersebut bisa untuk dilepas tanpa mengakibatkan masalah yang besar, maka dia harus melepasnya karena alliran air wudhu wajib untuk sampai ke bagian yang ia tutup itu. Wallahu A’lam.

Hukum bersuci ketika menggunakan wig ( rambut palsu )?

Mayoritas ulama fuqaha dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hambali mengatakan bahwa menyambungkan rambut asli dengan rambut palsu itu hukumnya haram, dilarang oleh  syariat. Yang melakukan itu perempuan ataupun laki-laki secara mutlak syariat mengharamkan-nya. Berdasarkan dalil yang diriwayatkan oleh Asma binti abu bakar - RA –

" عن اسماء بنت ابي بكر – رضي الله عنها – أن امرأة جاءت الي النبي – صلي الله عليه و سلم – و قالت يا رسول الله أنّ لي ابنة عريسا اصابته حصبة فتمرق شعرها, أفأصله ؟ فقال لعن الله الواصلة و المستوصلة.1
Artinya : “ Diriwayatkan oleh Asma binti Abu bakar - RA – bahwa datang seorang perempuan kepada Nabi SAW, lalu berkata : wahai Rasulullah bahwa saya memiliki seorang anak perempuan, dia seorang pengantin yang dilanda penyakit campak sehingga rontok rambut-nya, apakah boleh saya menyambung rambut tersebut ? Nabi SAW menjawab : semoga Allah melaknat orang yang menyambung rambut-nya ataupun yang Meminta untuk disambungkan. “

Jikalau perbuatan sambung rambung rambut terjadi disebabkan darurat, karena untuk menutupi aib bagi wanita yang tidak memiliki rambut sama sekali. Disini, ulama fuqaha berbeda pendapat. Mayoritas ulama tetap melarang-nya berdasarkan hadits nabi yang diatas, karena nabi melarang bagi orang yang melakukan sambung rambut tersebut meskipun dalam keadaan darurat, dan ada sebagian ulama seperti ibn muhanna An-nafrawi Al-maliki dan yang lainnya memperbolehkan menggunakan wig sebagai pengganti-nya, karena mereka mengatakan bahwa hadist nabi tersebut mengharamkan sambung rambut sedangkan menggunakan wig bukanlah bagian dari sambung rambut, ia berbeda konteks dari hadits tersebut. Karena wig adalah rambut palsu yang diletakkan diatas kepala.
An-nafrawi Al-maliki berkata : sambung rambut  disini yang dipahami adalah bahwa jika rambut palsu tidak sampai menyambung dengan rambut asli yang diletakkan diatas kepala maka hal ini, diperbolehkan. Sebagaimana di ungkapan juga oleh Al-Qhadi iyadh karena wig adalah kumpulan rambut yang dijahit dengan benang yang biasa digunakan oleh seorang wanita untuk memperindah tampilan-nya dan tidak kesulitan untuk melepasnya, maka tidak dilarang oleh syariat. [2]
            Sedangkan yang jadi inti permasalahan disini adalah bagaimana ketika seseorang yang sedang menggunakan wig, lalu ingin bersuci, apakah dibolehkan oleh syariat untuk tidak melepas-nya atau tidak ?
Ada dua pendapat ulama tentang masalah ini, pendapat pertama mengatakan bahwa orang tersebut dihukumi seperti orang yang menumbuhkan rambut baru secara biologis atau melakukan operasi tanam rambut.[3] dan pendapat yang kedua mengatakan bahwa membasuh wig yang sedang digunakan-nya untuk bersuci hukumnya boleh, di qiyaskan (analogikan) dengan membasuh kerudung wanita saat bersuci, sebagai bentuk rukhsah (keringanan). Karena suatu hari nabi SAW pernah membasuh imamah-nya (tutup kepala) tanpa membasuh rambut-nya dan pembasuhan tersebut memiliki batas waktu yaitu tiga hari bagi seorang musafir, sehari semalam bagi orang yang menetap.
            Sedangkan dalam penggunaan wig yang digunakan untuk perbuatan haram, maka tidak boleh bagi-nya membasuh wig saat bersuci, karena perbuatan rukhsah ini tidak diperuntukkan bagi mereka yang sedang dalam keadaan bermaksiat.
            Dan kemudian, wajib membuka wig yang digunakan-nya ketika ingin melakukan mandi besar, karena berdasarkan syarat wajibnya mandi adalah harus mengalirnya air ke seluruh bagian tubuh. Yang hal ini sudah di sepakati bersama oleh ahlu ilmi (ulama).

Hukum memegang mushaf Al-Qur’an tanpa bersuci?

Ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini, secara global hanya terdapat dua pendapat yang menyinggung masalah ini. Pendapat yang pertama mengatakan tidak bagi seorang muslim memegang Al-Qur’an tanpa bersuci terlebih dahulu. Dan pendapat ini dikatakan oleh mayoritas ulama dari kalangan hanafiyah, malikiyah, syafi’iyah, hambali. Kecuali imam malik membolehkan memegang Al-qur’an ketika saat belajar ataupun mengajarkan-nya disertai dengan keadaan darurat. Dalam hal ini mereka mengambil dalil dari ayat Al-qur’an yang berbunyi :

" لَا يَمسُّهُ اِلاَّ المُطَهَّرُونَ تَنزِيلٌ مِن رَبِّ العَالِمينَ "

“ tidak ada yang menyentuh-nya kecuali hamba-hamba yang disucikan, diturunkan dari tuhan semesta alam “ 1

Dalil ayat Al-qur’an ini menerangkan bahwa Allah mensifati kitab suci Al-Qur’an dengan sesuatu yang agung, bersih tanpa kesalahan apapun dan boleh memegangnya bagi mereka dalam keadaan bersuci. Ayat ini bersifat khabr (pernyataan) yang bermakna sebuah perintah, sebagaimana yang sudah ditekankan bahwa ini menunjukkan atas mushaf yang ada di genggaman manusia bukan Al-lauh Al-mahfudz (belum terlihat keberadaan-nya) karena ayat selanjutnya mengatakan yang “diturunkan” dari tuhan semesta alam yaitu Al-Qur’an.
Lalu kemudian, mereka mengambil dalil dari hadis nabi SAW yang diriwayatkan oleh ibn umar,

" حديث ابن عمر أن النبي – صلي الله عليه و سلم – قال لا يمس القران الا طاهر "
قال ابن حجر : و اسناده لا باس به

Artinya : “ diriwayatkan oleh ibn umar bahwa nabi SAW bersabda tidak lah seseorang memegang Al-Qur’an kecuali ia telah bersuci. “

Ibn hajar berkata : rantai periwayatan hadits ini tidak bermasalah ( bisa diamalkan ).
       Sedangkan pendapat yang kedua mengatakan bahwa memegang Al-qur’an tidak disyaratkan untuk bersuci terlebih dahulu, boleh bagi-nya untuk memegang-nya tanpa bersuci. Pendapat ini disampaikan oleh madzhab Adz-zhohiry dan yang sepakat dengan-nya. Dalil pendapat ini adalah sama seperti pendapat yang pertama, mereka mengambil dari dalil Al-Qur’an yang berbunyi :

أن النبي – صلي الله عليه و سلم – كتب الي هرقل " قُل يَا أهلَ الكتَابِ تَعالَوا اِلَي كلمةٍ سواءٍ بَينَنَا و بَينكُم إِلَّا نَعبُدَ إِلَّا اللهَ ولا نُشرِكُ بِهِ شَيئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعضُنا بَعضًا أَربَابًا مِن دُونِ اللهِ فَإِن تَولَّوا 
فَقُولُوا اشهَدُوا بِأَنَّا مُسلِمُونَ " ( ال عمران : 64)

Artinya : “ Katakanlah (Muhammad), “ Wahai ahli kitab ! marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kalian, bahwa kita tidak menyembah selain Allah. “ jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka), saksikanlah, bahwa kami adalah seorang muslim “

Pemahaman mereka dari ayat Al-qur’an ini adalah bahwa nabi SAW mengirim sebuah kitab Al-qur’an kepada kaum nasrani yang sudah diyakini bahwa mereka memegang kitab tersebut. Dan kaum nasrani bukan lah seorang muslim.
            Akan tetapi pemahaman madzhab yang kedua ini dibantah oleh ulama lainnya yang tidak sependapat dengan-nya, bantahan-nya adalah yang dimaksud rasul mengirim kitab disini adalah bukan kitab suci Al-qur’an, akan tetapi kitab fiqih atau sejenisnya yang boleh dipegang tanpa bersuci terlebih dahulu.
Sudah dapat terlihat bahwa pendapat yang dibenarkan disini adalah pendapat pertama yaitu mayoritas ulama yang tidak membolehkan memegang kitab suci Al-Qur’an kecuali sudah bersuci. Berdasarkan dalil yang mereka sampaikan itu lebih kuat dari pada pendapat kedua, dan begitu juga hadits ibn umar yang sudah disepakati oleh mayoritas ulama fuqaha atas kesahahihan-nya. Dan ditambahkan dengan pendapat madzhab maliki yang membolehkan untuk memegang Al-Qur’an tanpa bersuci terlebih dahulu ketika dalam keadaan belajar dan mengajarkan-nya jika disana terjadi sebuah kesulitan untuk harus mengulangi wudhu tersebut.

Hukum memegang HP yang sedang membuka Aplikasi Al-Qur’an?

         Dewasa ini, Ulama kontemporer telah meneliti permasalahan ini yang terbagi menjadi dua pendapat ; Pendapat pertama mengatakan bahwa diperbolehkan bagi seorang yang berhadas baik kecil maupun besar memegang Handphone yang sedang membuka Aplikasi AL-Qur’an baik HP tersebut dalam keadaan aktif maupun tidak. Pendapat ini membedakan antara memegang Al-Qur’an dan HP yang ber-aplikasi Al-Qur’an, mereka menafsirkan memegang HP yang ber-aplikasi Al-Qur’an tidak dapat disamakan dengan memegang Al-Qur’an pada umumnya.
          Pendapat yang kedua tidak membedakan antara memegang Al-Qur’an dengan HP yang ber-aplikasi Al-Qur’an, artinya seorang muslim dilarang untuk memegang HP tersebut yang sedang membuka Aplikasi Al-Qur’an tanpa bersuci terlebih dahulu, kecuali bagi mereka yang sedang dalam kegiatan belajar-mengajar dan terjadi kesulitan ketika harus berwudhu ataupun mengulangi wudhu tersebut, begitu pun bagi perempuan yang sedang haid atau nifas. Berbeda yang sedang junub ketika dia bisa untuk melakukan mandi besar, maka untuk melakukan-nya dan dilarang untuk memegang HP yang sedang membuka Aplikasi Al-Qur’an tersebut.
Pendapat ini menqiyaskan (analogikan) dalam keadaan HP tersebut itu sama hal-nya dengan membuka Al-Qur’an pada umumnya, tidak ada perbedaan diantara kedua-nya. Karena tujuan nya adalah satu mengagungkan atau memuliakan kitab suci Al-Qur’an ketika dalam keadaan bersuci. Wallahu A'lam bishowab





[1] رواه النسائي 5250

[2] الفواكه الدواني علي رسالة ابن ابي زيد القيرواني
[3] ) yang pertama ketika tanam rambut tersebut dapat tumbuh seperti rambut asli pada umumnya, maka bersuci-nya orang tersebut dihukumi seperti orang lain pada umumnya. Yang kedua ketika tanam rambut tersebut tidak tumbuh, maka tidak sah wudhunya ketika rambut yang ditanam itu menutupi seluruh kepala. Jika apabila hanya sebagian kepala yang tertutupi oleh rambut tanam tersebut maka wudhu nya sah menurut ulama madzhab syafi’I, dan madzhab hanafi, berbeda dengan madzhab maliki dan hambali mereka mengatakan wudhu orang tersebut tidak sah. Karena wajib membuka dan membasuh seluruh bagian kepala-nya.

1 komentar:

  1. assalamualaikum fi numpang tanya utk tanam rambut bulu mata hukumnya bagaimana ya dan utk bersuci nya juga bagaimana? bukan pasang bulu mata ya tapi tanam bulu mata hehe terima kasih

    BalasHapus

Islamic Ethics

Kata ‘Ethic’ dalam bahasa Inggris didefinisikan sebagai etika, akhlak, atau budi pekerti. Tidak sedikit kata bahasa Indonesia merupakan ...