Hukum bersuci bagi orang yang
memiliki kuku palsu dan alis mata palsu?
Sudah
diketahui, bahwa membasuh kedua tangan hingga sikut dan membasuh wajah adalah
menjadi syarat wajib nya wudhu, tanpa membasuh kedua maka, tidak sah wudhu-nya.
Dewasa ini, ada beberapa sekolompok manusia yang membuat kuku palsu dan alis
mata palsu. Hal ini, tidak terlepas dari dua keadaan. Yang pertama adalah ;
pembuatan alis mata palsu dan kuku palsu disebabkan karena terjadi darurat,
memiliki tujuan yang tidak dibuat-dibuat. Seperti contohnya : wajah orang
tersebut mengalami kebakaran sehingga merubah bentuk wajah yang tidak
sewajarnya atau bisa dianalogikan kepada keadaan yang semisalnya. yang
terpenting merubah bentuk wajah yang mengakibatkan kecacatan. Maka, keadaan
seperti ini diperbolehkan oleh syariat. Lalu, kemudian, yang kedua : keadaan
wajah seorang yang sengaja merubah bentuk ciptaan tuhan, tidak lain tujuan nya
adalah untuk berhias, maka perubahan ciptaan Allah itu tidak diperbolehkan oleh
syariat yang telah disepakati oleh para ulama fuqaha, karena perbuatan
tersebut terdapat pengubahan ciptaan tuhan. Lalu, bagaimana cara mereka
bersuci?
Jika
seorang yang memiliki keadaan seperti ini yang disebabkan karena darurat, dan
kemudian, pembuatan alis mata palsu dan kuku palsu tersebut dibuat dengan
bahan-bahan yang sifatnya permanen tidak dapat lagi untuk dilepas, maka dengan
keadaan seperti ini orang tersebut diperbolehkan bersuci tanpa melepaskan kuku
palsu atau alis mata tersebut. Dan begitu juga, sah digunakan untuk mandi
besar. Tapi apabila, pembuatan alis mata tersebut bisa untuk dilepas tanpa mengakibatkan
masalah yang besar, maka dia harus melepasnya karena alliran air wudhu wajib
untuk sampai ke bagian yang ia tutup itu. Wallahu A’lam.
Hukum bersuci ketika
menggunakan wig ( rambut palsu )?
Mayoritas ulama fuqaha
dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hambali mengatakan bahwa
menyambungkan rambut asli dengan rambut palsu itu hukumnya haram, dilarang
oleh syariat. Yang melakukan itu
perempuan ataupun laki-laki secara mutlak syariat mengharamkan-nya. Berdasarkan
dalil yang diriwayatkan oleh Asma binti abu bakar - RA –
" عن اسماء بنت ابي
بكر – رضي الله عنها – أن امرأة جاءت الي النبي – صلي الله عليه و سلم – و قالت يا
رسول الله أنّ لي ابنة عريسا اصابته حصبة فتمرق شعرها, أفأصله ؟ فقال لعن الله
الواصلة و المستوصلة.1
Artinya : “ Diriwayatkan oleh
Asma binti Abu bakar - RA – bahwa datang seorang perempuan kepada Nabi SAW,
lalu berkata : wahai Rasulullah bahwa saya memiliki seorang anak perempuan, dia
seorang pengantin yang dilanda penyakit campak sehingga rontok rambut-nya, apakah
boleh saya menyambung rambut tersebut ? Nabi SAW menjawab : semoga Allah
melaknat orang yang menyambung rambut-nya ataupun yang Meminta untuk
disambungkan. “
Jikalau
perbuatan sambung rambung rambut terjadi disebabkan darurat, karena untuk
menutupi aib bagi wanita yang tidak memiliki rambut sama sekali. Disini, ulama fuqaha
berbeda pendapat. Mayoritas ulama tetap melarang-nya berdasarkan hadits
nabi yang diatas, karena nabi melarang bagi orang yang melakukan sambung rambut
tersebut meskipun dalam keadaan darurat, dan ada sebagian ulama seperti ibn
muhanna An-nafrawi Al-maliki dan yang lainnya memperbolehkan menggunakan wig
sebagai pengganti-nya, karena mereka mengatakan bahwa hadist nabi tersebut
mengharamkan sambung rambut sedangkan menggunakan wig bukanlah bagian dari
sambung rambut, ia berbeda konteks dari hadits tersebut. Karena wig adalah
rambut palsu yang diletakkan diatas kepala.
An-nafrawi
Al-maliki berkata : sambung rambut
disini yang dipahami adalah bahwa jika rambut palsu tidak sampai menyambung
dengan rambut asli yang diletakkan diatas kepala maka hal ini, diperbolehkan.
Sebagaimana di ungkapan juga oleh Al-Qhadi iyadh karena wig adalah kumpulan
rambut yang dijahit dengan benang yang biasa digunakan oleh seorang wanita
untuk memperindah tampilan-nya dan tidak kesulitan untuk melepasnya, maka tidak
dilarang oleh syariat. [2]
Sedangkan yang jadi inti permasalahan disini adalah
bagaimana ketika seseorang yang sedang menggunakan wig, lalu ingin bersuci,
apakah dibolehkan oleh syariat untuk tidak melepas-nya atau tidak ?
Ada
dua pendapat ulama tentang masalah ini, pendapat pertama mengatakan bahwa orang
tersebut dihukumi seperti orang yang menumbuhkan rambut baru secara biologis
atau melakukan operasi tanam rambut.[3]
dan pendapat yang kedua mengatakan bahwa membasuh wig yang sedang
digunakan-nya untuk bersuci hukumnya boleh, di qiyaskan (analogikan) dengan
membasuh kerudung wanita saat bersuci, sebagai bentuk rukhsah
(keringanan). Karena suatu hari nabi SAW pernah membasuh imamah-nya (tutup
kepala) tanpa membasuh rambut-nya dan pembasuhan tersebut memiliki batas waktu
yaitu tiga hari bagi seorang musafir, sehari semalam bagi orang yang menetap.
Sedangkan dalam penggunaan wig yang digunakan untuk
perbuatan haram, maka tidak boleh bagi-nya membasuh wig saat bersuci, karena
perbuatan rukhsah ini tidak diperuntukkan bagi mereka yang sedang dalam
keadaan bermaksiat.
Dan kemudian, wajib membuka wig yang digunakan-nya ketika
ingin melakukan mandi besar, karena berdasarkan syarat wajibnya mandi adalah
harus mengalirnya air ke seluruh bagian tubuh. Yang hal ini sudah di sepakati
bersama oleh ahlu ilmi (ulama).
Hukum
memegang mushaf Al-Qur’an tanpa bersuci?
Ulama
berbeda pendapat dalam permasalahan ini, secara global hanya terdapat dua
pendapat yang menyinggung masalah ini. Pendapat yang pertama mengatakan tidak
bagi seorang muslim memegang Al-Qur’an tanpa bersuci terlebih dahulu. Dan
pendapat ini dikatakan oleh mayoritas ulama dari kalangan hanafiyah, malikiyah,
syafi’iyah, hambali. Kecuali imam malik membolehkan memegang Al-qur’an ketika
saat belajar ataupun mengajarkan-nya disertai dengan keadaan darurat. Dalam hal
ini mereka mengambil dalil dari ayat Al-qur’an yang berbunyi :
" لَا يَمسُّهُ اِلاَّ المُطَهَّرُونَ
تَنزِيلٌ مِن رَبِّ العَالِمينَ "
“ tidak ada yang
menyentuh-nya kecuali hamba-hamba yang disucikan, diturunkan dari tuhan semesta
alam “
1
Dalil
ayat Al-qur’an ini menerangkan bahwa Allah mensifati kitab suci Al-Qur’an
dengan sesuatu yang agung, bersih tanpa kesalahan apapun dan boleh memegangnya
bagi mereka dalam keadaan bersuci. Ayat ini bersifat khabr (pernyataan)
yang bermakna sebuah perintah, sebagaimana yang sudah ditekankan bahwa ini
menunjukkan atas mushaf yang ada di genggaman manusia bukan Al-lauh Al-mahfudz
(belum terlihat keberadaan-nya) karena ayat selanjutnya mengatakan yang
“diturunkan” dari tuhan semesta alam yaitu Al-Qur’an.
Lalu
kemudian, mereka mengambil dalil dari hadis nabi SAW yang diriwayatkan oleh ibn
umar,
" حديث ابن عمر أن
النبي – صلي الله عليه و سلم – قال لا يمس القران الا طاهر "
قال ابن حجر : و اسناده لا باس به
Artinya
: “ diriwayatkan oleh ibn umar bahwa nabi SAW bersabda tidak lah seseorang
memegang Al-Qur’an kecuali ia telah bersuci. “
Ibn
hajar berkata : rantai periwayatan hadits ini tidak bermasalah ( bisa diamalkan
).
Sedangkan pendapat yang kedua
mengatakan bahwa memegang Al-qur’an tidak disyaratkan untuk bersuci terlebih
dahulu, boleh bagi-nya untuk memegang-nya tanpa bersuci. Pendapat ini
disampaikan oleh madzhab Adz-zhohiry dan yang sepakat dengan-nya. Dalil
pendapat ini adalah sama seperti pendapat yang pertama, mereka mengambil dari
dalil Al-Qur’an yang berbunyi :
أن النبي – صلي الله عليه و سلم – كتب الي
هرقل " قُل يَا أهلَ الكتَابِ تَعالَوا اِلَي كلمةٍ سواءٍ بَينَنَا و بَينكُم
إِلَّا نَعبُدَ إِلَّا اللهَ ولا نُشرِكُ بِهِ شَيئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعضُنا
بَعضًا أَربَابًا مِن دُونِ اللهِ فَإِن تَولَّوا
فَقُولُوا اشهَدُوا بِأَنَّا
مُسلِمُونَ " ( ال عمران : 64)
Artinya
: “ Katakanlah (Muhammad), “ Wahai ahli kitab ! marilah (kita) menuju kepada
satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kalian, bahwa kita tidak
menyembah selain Allah. “ jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada
mereka), saksikanlah, bahwa kami adalah seorang muslim “
Pemahaman
mereka dari ayat Al-qur’an ini adalah bahwa nabi SAW mengirim sebuah kitab
Al-qur’an kepada kaum nasrani yang sudah diyakini bahwa mereka memegang kitab
tersebut. Dan kaum nasrani bukan lah seorang muslim.
Akan tetapi pemahaman madzhab yang
kedua ini dibantah oleh ulama lainnya yang tidak sependapat dengan-nya,
bantahan-nya adalah yang dimaksud rasul mengirim kitab disini adalah bukan
kitab suci Al-qur’an, akan tetapi kitab fiqih atau sejenisnya yang boleh
dipegang tanpa bersuci terlebih dahulu.
Sudah
dapat terlihat bahwa pendapat yang dibenarkan disini adalah pendapat pertama
yaitu mayoritas ulama yang tidak membolehkan memegang kitab suci Al-Qur’an
kecuali sudah bersuci. Berdasarkan dalil yang mereka sampaikan itu lebih kuat
dari pada pendapat kedua, dan begitu juga hadits ibn umar yang sudah disepakati
oleh mayoritas ulama fuqaha atas kesahahihan-nya. Dan ditambahkan dengan
pendapat madzhab maliki yang membolehkan untuk memegang Al-Qur’an tanpa bersuci
terlebih dahulu ketika dalam keadaan belajar dan mengajarkan-nya jika disana
terjadi sebuah kesulitan untuk harus mengulangi wudhu tersebut.
Hukum
memegang HP yang sedang membuka Aplikasi Al-Qur’an?
Dewasa ini, Ulama kontemporer telah
meneliti permasalahan ini yang terbagi menjadi dua pendapat ; Pendapat
pertama mengatakan bahwa diperbolehkan bagi seorang yang berhadas baik
kecil maupun besar memegang Handphone yang sedang membuka Aplikasi AL-Qur’an
baik HP tersebut dalam keadaan aktif maupun tidak. Pendapat ini membedakan
antara memegang Al-Qur’an dan HP yang ber-aplikasi Al-Qur’an, mereka
menafsirkan memegang HP yang ber-aplikasi Al-Qur’an tidak dapat disamakan
dengan memegang Al-Qur’an pada umumnya.
Pendapat yang kedua tidak
membedakan antara memegang Al-Qur’an dengan HP yang ber-aplikasi Al-Qur’an,
artinya seorang muslim dilarang untuk memegang HP tersebut yang sedang membuka
Aplikasi Al-Qur’an tanpa bersuci terlebih dahulu, kecuali bagi mereka yang
sedang dalam kegiatan belajar-mengajar dan terjadi kesulitan ketika harus
berwudhu ataupun mengulangi wudhu tersebut, begitu pun bagi perempuan yang
sedang haid atau nifas. Berbeda yang sedang junub ketika dia bisa untuk
melakukan mandi besar, maka untuk melakukan-nya dan dilarang untuk memegang HP
yang sedang membuka Aplikasi Al-Qur’an tersebut.
Pendapat
ini menqiyaskan (analogikan) dalam keadaan HP tersebut itu sama hal-nya dengan
membuka Al-Qur’an pada umumnya, tidak ada perbedaan diantara kedua-nya. Karena
tujuan nya adalah satu mengagungkan atau memuliakan kitab suci Al-Qur’an ketika
dalam keadaan bersuci. Wallahu A'lam bishowab
[3] )
yang pertama ketika tanam rambut tersebut dapat tumbuh seperti rambut asli pada
umumnya, maka bersuci-nya orang tersebut dihukumi seperti orang lain pada
umumnya. Yang kedua ketika tanam rambut tersebut tidak tumbuh, maka tidak sah
wudhunya ketika rambut yang ditanam itu menutupi seluruh kepala. Jika apabila
hanya sebagian kepala yang tertutupi oleh rambut tanam tersebut maka wudhu nya
sah menurut ulama madzhab syafi’I, dan madzhab hanafi, berbeda dengan madzhab
maliki dan hambali mereka mengatakan wudhu orang tersebut tidak sah. Karena
wajib membuka dan membasuh seluruh bagian kepala-nya.
assalamualaikum fi numpang tanya utk tanam rambut bulu mata hukumnya bagaimana ya dan utk bersuci nya juga bagaimana? bukan pasang bulu mata ya tapi tanam bulu mata hehe terima kasih
BalasHapus